Oleh: Rifqi Baihaqi Zaki
Beragam persoalan terkait keberagaman agama
sering kali menimbulkan konflik besar yang tidak jarang berakhir dengan korban
jiwa di indonesia. Sering kali terdengar berita mengenai lemahnya persatuan,
mulai dari peperangan, pemberontakan, hingga pembunhuhan. Padahal, berbagai
upaya moderasi beragama telah banyak dibahas dalam bebrapa dekade terakhir sebagai
langkah pencegahan, namun hasilnya belum maksimal dan masih menjadi topik
perbincangan hangat hingga kini. Sebagai bangsa, kita seharusnya menyadari
bahwa keberagaman adalah takdir indonesia. Negara ini merupakan bangsa yang
majemuk dengan ras, suku, budaya, bahasa, dan agama. Keaneragaman ini
seharusnya menjadi pendorong kuatnya persatuan bangsa, namun kenytaannya,
perbedaan ini sering kali menjadi penghalang dan menimbulkan konflik yang
memecah belah bangsa.
Perbedaan seharusnya menjadi sebuah kekuatan,
bukan menjadi sumber perpecahan. Agama contohnya, menjadikan agama alasan dalam
hal mengahakimi sesorang, padahal dalam agama diajarkan cinta damai dan
melarang adanya kekerasan. Banyak kasus yang terjadi berlatar belakang agama,
sehingga agama seolah menjadi pihak yang patut disalahkan. Seringkali,
perbedaan muncul akibat perbedaan penafsiran terhadap suatu makna, yang dampaknya bisa sangat besar
Dalam mencegah hal itu perlu adanya suatu visi
dan misi serta pemahaman tentang pentingnya menghargai antara sesama manusia.
Karena jika dibiarkan maka akan hancur secara perlahan. Solusi ialah pemahaman
tentang pendidikan. Mereka diberikan
wawasan yang luas dalam memahami dan mengahrgai perbedaan, dengan menumbuhkan
sikap dasar teloransi harus dibangun sejak dini. Seperti yang akan kita bahas
yaitu tokoh Pendidikan Republik indonesia, Ki Hajar Dewantara tetes darahnya
menjadi saksi dalam memperjuangkan dan memajukan pendidikan di Indonesia.
Selain itu, semangat moderasi beragama adalah pencarian titik temu dari hal-hal yang ekstrim. Moderasi beragama hadir untuk menjadi solusi dari pemahaman satu makna yang salah dari suatu kelompok yang akan menimbulkan perpecahan, dari situlah moderasi beragama hadir.
Moderasi
Beragama
Indonesia adalah negara multikultural yang begitu beragam sehingga
potensi perpecahan sering kali muncul. Meskipun Pancasila telah ditetapkan
sebagai ideologi bangsa yang secara eksplisit menyatukan keberagaman suku,
adat, ras, budaya, keyakinan, dan kepercayaan, masih ada pihak-pihak yang
sengaja menentang ideologi tersebut dengan dalih agama. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang tepat
untuk mencegah terjadinya ancaman perpecahan dan diskriminasi sosial. Dalam
konteks ini, moderasi beragama berperan sebagai solusi dengan menawarkan jalan
tengah untuk mengantisipasi dan menangkal paham-paham yang menyimpang dari
identitas negara.
Secara etimologi dan terminologi, moderasi
beragama berasal dari kata "moderator," yang mengindikasikan situasi
yang seimbang tanpa kelebihan maupun kekurangan. Istilah ini sering digunakan
untuk menunjukkan posisi yang moderat, tidak terlalu condong ke arah kanan
maupun kiri, melainkan berada di tengah-tengah. Dalam konteks keagamaan,
moderasi sering dikaitkan dengan konsep washatiyah, yang menggambarkan sikap
yang seimbang dan dapat dianggap sebagai mediator dalam perspektif keagamaan.
Dalam agama moderasi agama dapat diartikan sebagai washatiyah atau islam moderat, yakni islam sebagai jalan tengah cinta damai, jauh dari kekerasan, toleransi sebagai prioritas, tajdid guna kemaslahatan tanpa meninggalkan mewarisi nilai-nilai luhur yang baik diwariskan oleh leluhur Selain itu, moderasi beragama juga berpegang pada prinsip-prinsip tertentu, diantaranya, Tawassuth, Tawazun, I’tidal, Tassamuh, Ishlah, Tahadhdhur, Aulawiyah, Musawah, Tathawwur wa ibtikar. Dari sini kemudian dapat diketahui bahwasannya secara teoritis, konsep moderasi beragama mudah dipahami, namun dalam praktiknya dalam majemuk masyarakat sekitar kita pun sangat susah.
Adapun secara
terminologi dapat diartikan, bahwasannya moderasi merupakan memilih jalan tengah yang tidak kurang juga tidak
berlebihan dalam berpikir, bertindak, mengambil sikap maupun bertindak, yang
menjadikan sesorang tidak mudah bertindak anarkis dan ekstrinsik dalam
menghadapi persoalan. Dasar atas
moderasi/wasathiyah dalam islam ada dalam surat Al-Baqarah ayat 143:
Artinya: ‘Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam)
umat pertengahan 40) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak
menetapkan kiblat (Baitul Maqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya,
kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat
berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah 2:143)”
Kata pertengahan dalam lafadz ”wasathan”, adalah sikap dan memiliki pola pikir yang adil, sehingga Tingkah laku seimbang dan baik. Bahwa makna yang terdapat dalam ayat tersebut mengisyaratkan sejatinya umat islam adalah “Ummatan Wasathan”. Sebagai umat yang sempurna, kita perlu menyebarkan ajaran Islam sesuai dengan inti ajarannya, yaitu Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Ciri-ciri moderasi beragama dalam konsep Islam rahmatan lil alamin meliputi berbagai aspek yang mencerminkan sifat-sifat ini.
Konsep washatiyah
Konsep Wasathiyah pada dasarnya adalah memilih jalan tengah, mencerminkan pandangan yang
menyeimbangkan ajaran Islam antara teks dalam Al-Qur'an dan konteks situasi
masyarakat. Ini berarti tidak terlalu terpaku pada teks Al-Qur'an secara
harfiah, tetapi juga mempertimbangkan keadaan dan tantangan yang dihadapi untuk
membuat keputusan yang bijaksana dan adil.
Pendekatan washatiyah berada di tengah antara dua ekstrem perilaku,
baik yang terlalu konservatif ke kanan maupun yang terlalu liberal ke kiri. Hal ini memungkinkan adanya keseimbangan dalam
pengambilan keputusan tanpa mendominasi satu sisi. Seperti yang diungkapkan
oleh Khaled Abou El Fadl dalam bukunya The Great Theft, pendekatan ini
menekankan pentingnya tidak hanya berpegang pada teks suci secara kaku tetapi
juga memahami konteks sosial yang ada.
Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam hal moderasi
beragama. Kita tidak boleh hanya fokus pada teks Al-Qur'an tanpa memperhatikan
konteks, karena hal ini dapat menyebabkan perilaku ekstrem, keras, dan radikal.
Sebaliknya, kita juga tidak boleh sepenuhnya terfokus pada konteks dan
mengabaikan teks, karena ini dapat mengarah pada perilaku yang terlalu liberal
dan tanpa kendali. Pendekatan washatiyah ini mendorong keseimbangan antara teks
dan konteks untuk menciptakan sikap beragama yang moderat dan harmonis.
Tawazun (Berimbang)
Tawazun, keseimbangan dalama artian tidak keluar dari
jalan atau garis yang telah ditetapkan. diambil dari kata mizan artinya
timbangan, namun secara konteks dalam moderasi beragama makna kata mizan bukan
sekedar seimbang atau sebagai alat untuk menimbang melainkan bagaimana Akhlaq,
amal, perbuatan berlaku Adil dalam proses menjalani kehidupan di dunia,
Tasamuh (Toleransi)
Tasamuh
dalam pemahaman moderasi beragama dapat dipahami perilaku menghargai tingkah
laku yang berbeda dengan dirinya namun bukan berarti membenarkan ataupun
menyalahkannya. Kata dasar dari tasamuh adalah Samhun yang artinya
memudahkan. Dalam kehidupan beragama, kita diajarkan untuk menghargai keyakinan
yang berbeda, dengan memahami bahwa setiap agama dipandang benar oleh para
penganutnya. Namun, secara teologis, tidak dapat diterima jika ada klaim bahwa
semua agama adalah benar dan sama. Ini karena, dalam konsep ketauhidan, kita
tidak dapat menggunakan prinsip toleransi (tasamuh) untuk menyamaratakan
seluruh agama.
Tokoh Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Raden Mas Suryaningrat, yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, merupakan salah satu tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Ia lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, dan merupakan putra dari Pangeran Suryaningrat, keturunan Paku Alam ke-4. Ki Hajar Dewantara menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar untuk anak-anak Eropa dan Belanda. Sejak muda, ia aktif dalam dunia tulis-menulis, bekerja sebagai wartawan dan jurnalis, serta terlibat dalam berbagai organisasi politik dan sosial. Beberapa surat kabar tempat ia berkarya antara lain Midden Java, Kaoem Moeda, dan De Express. Dengan kecerdasan intelektualnya, Ki Hajar Dewantara menjadi penulis yang dikenal pada masanya, dengan karya-karya yang komunikatif, aktual, dan menyuarakan semangat anti-kolonial.
Dalam bidang organisasi, ia memiliki jejak
yang signifikan, termasuk menjadi bagian dari seksi propaganda Boedi Oetomo
pada tahun 1908. Di sana, ia berperan dalam membangkitkan semangat persatuan
dan kesatuan, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Selain Boedi Oetomo, ia
juga aktif dalam Organisasi Insulinde, sebuah organisasi multietnis yang
memfokuskan pada perjuangan kemerdekaan dan persamaan hak di Hindia Belanda.
Dengan banyaknya pengalaman di dunia
pendidikan dan semangat perjuangannya untuk membela tanah air, Ki Hajar
Dewantara memutuskan untuk fokus dan memperjuangkan pendidikan di Indonesia.
Pada usia 40 tahun, ia mengubah namanya dari Raden Mas Suryaningrat menjadi
"Ki Hajar Dewantara," menghapus gelar kebangsawanannya. Langkah ini
diambil untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan menghilangkan jarak sosial
antara dirinya dan masyarakat. Salah satu ajaran paling terkenal yang
ditinggalkannya adalah
Ing ngarso sung Tulodo (di depan memberi teladan)
Ing
madya mangan kersa (di tengah
memberi semangat)
Tut
wuri handayani (di belakang
memberi dorongan)
Dalam segi karakter dan kegigihan beliau dalam dunia Pendidikan
sudah sepatutnya kita jadikan teladan semangat keilmuan dari sekiranya
banyaknya tokoh Pendidikan yanga ada dalam sejarah. Ia mendapat gelar Bapak
Pendidikan Indonesia, gelar kehormatan oleh Universita Gadjah Mada, Doktor
Honoris Causa, dan ditetapkan sebegai Hari kelahirannya Hari Pendidikan
Nasional.
Berdasarkan pengalamannya di dunia pendidikan dan kecakapan
intelektualnya, Ki Hajar Dewantara memiliki pandangan khusus dalam proses
pembelajaran, yaitu upaya untuk memanusiakan manusia. Melalui pendidikan,
individu dapat mengembangkan budaya serta kemampuan kognitif, afektif, dan
konatif mereka hingga mencapai potensi maksimal. Selain itu, dalam upaya
memanusiakan manusia, peran seorang guru adalah sangat penting sebagai teladan
dan fasilitator dalam proses belajar mengajar. Guru harus mengajarkan nilai-nilai baik,
luhur, dan utama yang menjadi inti dari setiap proses pengajaran.
Dalam mendirikan dan mengelola lembaga pendidikannya, Ki Hajar Dewantara memiliki tujuan mulia untuk membentuk individu yang kuat secara mental, fisik, dan spiritual, serta bebas dalam berpikir dan bertindak. Tujuan ini mencerminkan visi beliau untuk menciptakan manusia yang merdeka. Selain itu, ia memiliki landasan filosofis yang jelas dalam menentukan arah lembaga pendidikan yang didirikannya. Pertama, pendidikan harus bersifat nasionalistik, berakar pada budaya nasional. Kedua, pendidikan harus bersifat universalistik, selaras dengan hukum alam. Dalam menciptakan suasana pembelajaran, Ki Hajar Dewantara menekankan prinsip keluarga (family), yang menumbuhkan cinta kasih, empati, simpati, kebaikan hati, dan saling menghargai di antara semua anggotanya.
Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya
sifat-sifat tertentu bagi seorang guru. Seorang guru harus memiliki keunggulan
dalam metode pengajaran, mampu menjalin relasi yang baik dengan siswa,
berinteraksi positif dalam lingkungan akademik, serta menjaga komunikasi yang
baik dengan wali atau orang tua siswa. Profesionalisme menjadi kunci, yang
berarti seorang guru harus dapat menyesuaikan metode pendidikan dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman. Selain itu, seorang guru harus memiliki etos
kerja yang tinggi, mampu mengendalikan diri, dan memiliki niat tulus dalam
pengabdian kepada masyarakat. Lebih dari itu, seorang pendidik harus menjaga
penampilan fisik, karakter, kepribadian, intelektual, relasi sosial, dan spiritualitasnya,
agar dapat menjadi panutan dan motivator yang layak bagi para siswa.
Dalam KBBI, moderasi beragama memilki arti pengurangan
kekrasan atau penghindaran keekstriman, sikap moderat sendiri menghadirkan
perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Bisa diartikan sebagai sifat yang
memilih jalan tengah. Dalam pandang agama, moderasi bisa diartikan dengan Sikap
atau Karakter spiritual yang memperimbangkan kesatuan dan persatuan bangasa dan
negara.
Sifat moderat atau moderasi, sifat yang harus ada dalam setiap
individu warga negara. Sikap ini tidak bisa spontan ada dalam diri seseorang
melainkan dilatih melalui binaan dari lingkungan hidup. Penanaman karakter
melalui Pendidikan. Ki Hajar Dewantara bahawa karakter atau sifat moderat sudah
ada sejak lahir.
Ki Hajar Dewantara menyebutkan pendidikan yang sangat dekat dengan
kedaaan individu seseorang ialah lingkungan keluarga, keluarga berkumpulnya
orang-orang terikat karena keturunan yang saling mengerti dan menghargai
sehingga memiliki rasa dalam menjaga keutuhan hak dan berkehendak untuk
memperteguh gabungan demi menguatkan kemuliaan satu anggota keluarga. Keluarga
adalah lingkungan pendidikan pertama bagi seorang anak. Tahap awal pendidikan
dalam keluarga dimulai dari orang tua, yang berperan sebagai pembimbing,
pengajar, dan teladan. Tahap kedua melibatkan proses saling mendidik antara anak-anak, jika ada
saudara kandung. Tahap terakhir adalah anak mendidik dirinya sendiri. Anak-anak
akan mengalami berbagai peristiwa, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat.
Pengalaman-pengalaman inilah yang membentuk proses pendidikan diri mereka.
Pengenalan akan keberagaman kepada anak
merupakan hal terpenting dalam menumbuhkan sifat karakter moderasi terutama
dalam hal keberagaman khususnya di negara kita tercinta. Ini merupakan
implementasi dari peran keluarga dalam mengajar dan mendidik. Tidak hanya
mengenalkan tentang keberagaman agama kepada anak, pembelajaran tentang sikap
atau cara menghadaoi keberagaman agama tersebut juga merupakan materi penting
yang harus disampaikan kepada anak.
Pengajaran agama dalam lembaga pendidikan
menjadi salah satu strategi untuk mewujudkan moderasi beragama menurut Ki Hajar
Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia. Perdebatan mengenai inklusi mata
pelajaran agama telah menjadi topik hangat dalam beberapa dekade terakhir. Ki
Hajar Dewantara mengamati bahwa mayoritas masyarakat Indonesia cenderung
religius, dan tradisi terbuka terhadap ajaran agama telah mengakar kuat.
Meskipun demikian, tantangan muncul ketika ada kebutuhan untuk menyatukan aspek
keagamaan dengan pendidikan formal, yang kadang-kadang bertentangan dengan
prinsip-prinsip agama yang mendasar
Poin yang perlu diambil adalah bagaiman teciptanya suasana yang
damai, saling menghargai, dan menghormati. Peserta didik merupakan individu
yang nantinya akan menuai pembelajaran dan pengajaran, sedangkan guru
memberikan informasi ilmu kepada para peserta didiknya. ika sekolah-sekolah
mampu membangun budaya yang menghargai keragaman agama, ini akan menjadi
fondasi penting bagi moderasi beragama di negara ini. Selain itu, agama dapat dijadikan sebagai mata
pelajaran etika atau budi pekerti. Ki Hajar Dewantara telah memberikan
pemahaman tentang budi pekerti, metode pengajarannya, dan cara penerapannya di
berbagai tingkatan pendidikan. Meski ada anggapan bahwa pengajaran budi pekerti
hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa yang berilmu, sebenarnya pengajaran ini
tidak harus dilakukan secara formal seperti mata pelajaran
Di wilayah-wilayah yang budaya lokalnya
dipengaruhi oleh ajaran agama, seperti yang menerapkan hukum Islam dalam adat
istiadat mereka, diizinkan untuk memasukkan pendidikan agama dalam kurikulum
lembaga pendidikan. Namun, hal ini tidak boleh dilakukan secara paksa.
Misalnya, di Taman Siswa, hari libur disesuaikan dengan agama yang dianut oleh
siswa. Ki Hajar Dewantara telah memperingatkan bahwa keputusan Kongres terkait
pengajaran agama tidak mungkin diterapkan secara utuh dan sempurna. Beliau juga
menekankan pentingnya beberapa hal dalam menanggapi keragaman di Indonesia.
Salah satunya adalah untuk tidak memaksakan penyatuan hal-hal yang jelas-jelas
tidak dapat disatukan. Peringatan ini menggarisbawahi pentingnya toleransi
sebagai dasar moderasi beragama.
Implementasi sikap toleransi yang benar
bukanlah menuruti, menerima bahkan sampai mengikuti perbedaan yang bukan lagi
masuk dalam ruang lingkup sikap toleransi, seperti halnya mecampuradukkan
ibadah spiritualistik antar agama. Pengajaran agama yang berbeda-beda tidak
hanya dapat memperkaya pemahaman dari perspektif masing-masing agama, tetapi
juga berpotensi menimbulkan konflik antarumat beragama. Oleh karena itu, tidak
semua perbedaan dan keberagaman harus disatukan, terutama karena setiap agama
memiliki batasan tertentu, terutama dalam hal akidah. Moderasi beragama tidak
dicapai dengan menyamakan keyakinan atau praktik keagamaan, melainkan dengan
menciptakan kehidupan sosial dan tata kelola negara yang harmonis. Sebaliknya,
fokus pada menyatukan hal-hal yang substantif dan mendasar sudah cukup untuk
membangun persatuan yang kuat dan tahan lama.
Kesimpulan, pada tulisan ini belum membahas
secara eksplisit mengenai Moderasi Ki Hajar Dewantara, namun dapat diambil
bahwa sebagai Tokoh pendidikan Nasional beliau memilki peran penting dalam tajdid
dari segi pendidikan salah satu sikapnya ialah moderasi, sikap toleransi
dan saling mengahargai satu sama lain. Terutama dari sisi agama, moderasi
beragam dalam pandangan Ki Hajar Dewantara bukanlah memasukkan atau menyamakan
satu keyakinan dengan agama lain karena itu hanya menjadikannya semakin
intoleran, Sehingga praktek moderasi beragama yang dicanangkan Ki Hajar
Dewantara ialah pertama, jangan mengatakan apa yang tak mungkin
disatukan. Kedua, menyatukan hal–hal yang substantif atau bernilai
pokok saja maka ini sudah lebih dari cukup untuk menciptakan persatuan yang
kokoh dan abadi. dengan hal ini wujud dari moderasi ialah menghargai dan
menghormati sesuatu hal yang Sosial dan kultural tidak mencampuradukkan akidah
dan keyakinan
Sumber Foto: tribunnewswiki.com
Tag: #islam #moderasi #washat #damai #pemikiran #kihajardewantara
Detail Artikel yang Diringkas: Dzikri Dinikal Arsy, Nihyatus Sa'adah, dan Tamara Diina Al Hakim, Konsep Moderasi Beragama Perspektif Ki Hajar Dewantara, link Download
Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Penulis: Rifqi Baihaqi Zaki
Comments
Post a Comment