Oleh: Rifqi Baihaqi Zaki
Perubahan adalah suatu kepastian dalam kehidupan manusia. Perkembangan pemikiran yang mencerminkan perkembangan nalar, merupakan respons manusia terhadap perubahan tersebut. Nalar tidak lah konstan dan tetap, melainkan berubah seiring dengan kemajuan alat berfikir dan penemuan penemuan baru. Pemikiran yang relevan pada masa kini mungkin tidak lagi sesuai jika diterapkan pada masa lampau, dan sebaliknya. Dalam pemikiran Arab modern, terdapat tiga tipe utama: Transformatif yang mengusulkan transformasi radikal dari budaya tradisional ke masyarakat rasional dan ilmiah, reformis yang menggunakan pendekatan deskonstruktif, dan ideal -totalistik yang menganggap ajaran islam secara idealis dan totalistik
Metode dekonstruktif merupakan suatu pendekatan baru dalam pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir yang menggunakan metode ini adalah mereka yang terpengaruh oleh gerakan (pasca-)strukturalisme Prancis dan beberapa pemikir pascamodern lainnya, seperti Jacques Lacan, Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Hans-Georg Gadamer. Tokoh-tokoh utama dalam kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang mengikuti jejak Arkoun dan Jabiri termasuk M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh, dan Hashim Shaleh.
Mengenal deskontruksi, pemahaman filsafat yang muncul pada era postmodernism digagas oleh Jacque Deridda, lahir di Aljazair pada tanggal 15 Juli 1930. pada tahun 1949 ia berpindah ke prancis, dekonstruksi-mengubah teks- upaya untuk memahami suatu teks, baik secara literal maupun realitas itu sendiri, lalu mengubahnya menjadi makna baru. Gabungan dari dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan (transformation) transformasi.
Muhamad Arkoun lahir di wilayah Berber di Taurit-Mimoun, Kabila, Aljazair pada 12 Januari 1928. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di desanya, kemudian melanjutkan pendidikan menengah dan tinggi di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di bagian barat Aljazair.
Arkoun kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne dan meraih gelar Doktor Filsafat pada tahun 1969. Selama itu, ia bekerja sebagai agrégé dalam bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris dan mengajar di sebuah SMA (Lycée) di Strasbourg, di timur laut Prancis, serta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, dan mengajar di sana hingga tahun 1969. Saat ini, Arkoun tinggal di Paris dan menjadi Profesor Emeritus dalam Studi Islam di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis. Pada November 1992, Arkoun memberikan ceramah di UIN Yogyakarta dan Jakarta di depan forum LKiS dan beberapa lembaga lainnya.
Pemikir yang bersasal dari Aljazair, yang menghabiskan sebagian hidupnya di Prancis. Ia merupakan salah satu dari sedikit pemikir Islam kontemporer yang pemikirannya telah masuk dan berpengaruh dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Keprihatinan mendalam atas perkembangan pemikiran islam Trasisional menurutnya beku, tertutup, dan dogmatis, stagnasi berpikir yang menyuburkan aspek-aspek fundamentalisme islam. Menurutnya hal tersebut disebabkan oleh memudarnya warisan tradisi filsafat, sehingga penerimaan terhadap tradisi islam terjadi tanpa penelaahan kritis. Ia menekankan pentingnya metode kritik dalam memahami islamic historis. Untuk itu ia menggunkan pendekatan dan metodologi ilmi sosial serta konsep-konsep pascamodern seperti mitos dari Ricoeur, Wacana dan Episteme dari Foucault, serta deskonstruksi dari Derrida. Dekonstruksi inilah yang digunakan Arkound dalam merefleksi kembali islam.
secara historis, Menurut Arkoun, Islam seharusnya tidak dipandang sebagai agama yang kaku dan dogmatis. Namun, dalam sejarahnya, melalui jalur kekuasaan, Islam telah berubah menjadi dogma yang kaku demi kepentingan kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, dari sudut pandang sejarah, pemikiran Islam menjadi stagnan, terbagi-bagi, tertutup, sempit, dan berpusat pada logika. Menurutnya, pemikiran Islam sudah enggan menerima perubahan dalam prosedur dan aktivitasnya. Umat Islam perlu mengakui bahwa selama empat abad terakhir, pemikiran Islam tidak berkembang seperti pemikiran di Eropa. Pemikiran Islam hanya mengulang-ulang pola pikir religius-skolastik yang konservatif, seperti yang digunakan pada Abad Pertengahan, tanpa beranjak sedikit pun ke arah pemikiran modern.
Inti pemikiran Arkoun terletak pada konsep kritik epistemologis. Istilah ini sering digunakan dalam karyanya, meskipun dalam berbagai konteks yang berbeda. Dalam konsep Arkoun, kritik epistemologis memiliki makna yang lebih tajam karena ditujukan pada struktur "keilmuan" berbagai ilmu agama secara keseluruhan. Pemikiran Arkoun menggabungkan elemen-elemen dari dunia Barat dan dunia Islam, sesuai dengan aspirasinya untuk mengintegrasikan berbagai cara berpikir yang berbeda. Ia berusaha memadukan elemen terbaik dari pemikiran Islam (nalar islami) dengan elemen terpenting dari pemikiran Barat modern (nalar modern). Usaha ini menjadi landasan dari semua kegiatan dan karyanya, dengan tujuan mengintegrasikan berbagai cara berpikir yang berbeda tersebut.
Dekonstruksi Arkoun
Jika dibandingkan perkembangan nalar modern dengan perkembangan Arab atau
islam, akan tampak sekali kontras diantara keduanya. Sepertihalnya Perkembangan
pemikiran yang sangat dinamis dan revolusioner seperti yang terjadi di Italia,
Prancis, Inggris, dan Spanyol sejak abad ke-16 tidak terjadi di banyak masyarakat
Arab atau Muslim. Umat Islam cenderung mengabaikan langkah besar yang diambil
oleh pemikiran untuk mencapai otonomi dan meningkatkan fungsinya. Secara
historis, pemikiran Islam bisa dikatakan mengalami stagnasi karena enggan
menerima perubahan. Sejak abad ke-16 hingga sekarang, pemikiran Islam relatif
tidak menunjukkan kemajuan.
Berasal dari kerangsangan mandeknya pola pemikiran islam, Arkoun mengajukan apa yang dibuat ”kritik nalar islam” yang ada dalam bukunya Pour une critique de la raison islamique. Dalam bahasa Prancis, buku ini awalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai Naqdu al-‘Aqlî al-Islâmî, kemudian diterjemahkan lagi menjadi Tarîkhiyah al-Fikr al-`Arabi al-Islâmi (historisisme pemikiran Arab-Islam). Buku ini berfokus pada pembacaan tradisi Arab-Islam. Tesis Arkoun berangkat dari isu pembacaan sejarah atau masalah historisisme dan interpretasi (hermeneutik). bertujuan untuk melihat semua fenomena sosial dan budaya melalui perspektif sejarah, yaitu dengan menilai masa lalu berdasarkan konteks sejarahnya.
Menggali sejarah harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta nyata. Penyejarahan memiliki peran sebagai metode rekonstruksi makna melalui penghapusan relevansi antara teks dan konteks, Jika metode ini diterapkan pada berbagai teks agama, yang diperlukan adalah penggalian makna baru yang secara potensial tersembunyi di dalam teks-teks tersebut.
Arkoun menggunakan perpaduan bebrapa ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh pemikir (pasca-) strukturalisme prancis. Semua unsur yang ada pada saat itu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi ”kritik nalar islam” penelitian Arkoun atas teks klasik adalah untuk menguak makna lain yang tersembunyi didalamnya sehingga, untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus diadakan dekonstruksi (teks), ia tidak sebatas meilhat dari teks klasik peninggalan para ilmuwan muslim dan sarjana muslim, termasuk teks suci (Al-Qur’an).
Dari sini muncul pertannyaan How Arkoun sees turats? Secara umum, Arkoun membedakan dua bentuk tradisi. Dalam beberapa karyanya
yang ditulis dalam bahasa Prancis, ia menggunakan kata tradition dan turats
secara bersamaan dan membedakannya menjadi dua jenis: pertama, Tradisi atau
Turats dengan huruf T kapital, yang merujuk pada tradisi transenden yang
dipahami dan dianggap sebagai tradisi ideal yang berasal dari Tuhan dan tidak
dapat diubah oleh peristiwa sejarah. Tradisi ini bersifat abadi dan absolut.
Kedua, tradisi atau turats dengan huruf t kecil, yang dibentuk oleh sejarah dan
kebudayaan manusia, baik sebagai warisan turun-temurun sepanjang kehidupan,
maupun sebagai penafsiran manusia atas wahyu Tuhan melalui teks kitab suci.
Dari kedua jenis tradisi tersebut, Arkoun menepikan jenis yang pertama. Menurutnya, tradisi transenden berada di luar jangkauan pengetahuan dan kemampuan akal manusia. Oleh karena itu, fokus kajiannya adalah pada tradisi jenis kedua, yang dibentuk oleh kondisi sejarah (ruang dan waktu). Membaca turats berarti membaca semua jenis teks. Karena turats dibentuk dan diresmikan dalam konteks sejarah, maka harus dibaca melalui perspektif sejarah. Menurut Arkoun, salah satu tujuan membaca teks, terutama teks suci, adalah untuk menghargainya dalam konteks perubahan yang terus berlangsung. Artinya, ajaran agama yang berasal dari teks suci harus selalu relevan dan tidak bertentangan dengan keadaan yang berubah. Upaya Arkoun adalah untuk mengharmonisasikan tradisi dengan modernitas melalui pendekatan baru.
Saat ini, banyak pemerhati Alquran yang menerapkan kritik historis dan
linguistis, yang menjadi ciri khas hermeneutik. Banyak tulisan dalam bidang ini
telah muncul, baik dari kalangan orientalis maupun umat Islam sendiri.
McAuliffe (1988: 46—62) menulis "Qur'anic Hermeneutic: The Views of
al-Tabari and Ibn Katsir," yang menekankan metode tafsir mereka dan sedikit
pada konteks sosialnya. Sarjana Muslim kontemporer Fazlur Rahman membahasnya
dengan penafsiran gerakan-ganda, sementara Arkoun mengkajinya melalui
pendekatan lingkaran bahasa-pemikiran-sejarah.
Untuk mengatasi masalah ini, Arkoun meminjam metode "dekonstruksi"
dari Derrida serta analisis arkeologis yang biasa digunakan dalam ilmu
purbakala. Dengan analisis arkeologis, Arkoun berusaha mengklarifikasi teks
hermeneutik dari tradisi pemikiran tertentu, yaitu dengan membersihkan
"debu" ruang dan waktu yang menyelubunginya. Hal ini memungkinkan
terungkapnya hubungan antara teks dari fase sejarah tertentu dengan konteks
sosial, generasi, serta gerakan pemikiran yang beragam pada masa itu. Selain
menunjukkan hubungan antara pemikiran dan sejarah, Arkoun juga menekankan
hubungan yang tak terpisahkan antara pemikiran dan bahasa. Setiap pemikiran
keislaman, selain menjadi "cermin" dari dinamika realitas
sosiohistoris pada titik sejarah tertentu, juga dirumuskan, dikonsepkan, dan
diungkapkan dalam "bahasa" tertentu.
Apa yang dilakukan Arkoun adalah contoh bagaimana "mengolah" Alquran dengan alat bantu hermeneutik. Tradisi hermeneutik fokus pada tiga aspek utama: teks, konteks, dan kontekstualisasi dalam sebuah lingkaran yang tidak terputus. Artinya, ketika seseorang menggali dan mereproduksi makna, ketiga aspek ini harus selalu terlibat secara berkesinambungan. Saat menggali makna teks, seseorang harus memperhatikan konteks kemunculan teks tersebut dan cara pemahamannya sehingga dapat memaknai kembali teks tersebut dalam konteks yang berbeda.
Arkoun menggunakan metode dekonstruksi untuk merekonstruksi kembali tradisi keilmuan klasik Islam. Dengan pembongkaran ini, akan terungkap lapisan-lapisan pengetahuan yang tertimbun oleh ortodoksi-ortodoksi. Selanjutnya, dilakukan pemilihan untuk menentukan mana yang penting dan mana yang tidak penting dalam kajian Islam. Studi elaboratif yang diajukan Arkoun berbeda dengan pendekatan pemikir Islam lainnya. Kecenderungannya dipengaruhi oleh strukturalisme, pascastrukturalisme, bahkan dekonstruksionisme, yang menekankan analisis linguistik. Dalam banyak karya ilmiahnya, Arkoun menggunakan ketiga paradigma tersebut untuk membaca dan memahami Islam, serta merumuskan kembali konsep Islam.
Arkoun mengidentifikasi redupnya warisan tradisi filsafat dan pendekatan
Islam yang dogmatis tanpa penelaahan kritis sebagai akar krisis dalam pemikiran
Islam saat ini, yang menyebabkan kebekuan dan ketutupan ideologis. Sementara itu, di Barat, pascamodernisme yang digagas oleh Derrida
dan Foucault muncul sebagai kerangka analisis yang menantang modernitas
dengan fokus pada kritik relasional. Dalam karya-karyanya, Arkoun menggunakan metode dekonstruksi untuk menyelidiki teks-teks Islam sebagai hasil dari proses pembekuan, pembatasan, dan penutupan dalam sejarah pemikiran Islam. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi makna yang terpinggirkan akibat proses-proses ini, dengan memanfaatkan kerangka analisis sosial-ilmiah modern.
Pemikiran
Mohammed Arkoun, baik melalui ceramah maupun tulisan, bertujuan untuk
membebaskan pemikiran Islam dari stagnasi, keterbatasan, dan keterisolasian. Dengan demikian, Islam dapat kembali menjadi
alat emansipasi bagi umat manusia. Menurut Arkoun, tujuan ini bisa tercapai
jika pemikiran Islam terbuka terhadap berbagai perkembangan terbaru dalam
pemikiran modern. Dengan kata lain, Arkoun menginginkan penggabungan
unsur-unsur paling berharga dari pemikiran Islam dan pemikiran modern.
Detail artikel yang diringkas: Siti Rohmah Soekarba, Kritik Pemikiran Arab: Metode Dekontruksi Mohammed Arkoun, link Download
Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Penulis: Rifqi Baihaqi Zaki
Comments
Post a Comment