Oleh: Handila
Berangkat dari pengertiannya
Feminisme berasal dari bahasa Latin femina, kemudian ia diterjemahkan kedalam
bahasa Inggris Femine, yang dapat diartikan memiliki sifat-sifat
perempuan. Secara umun sering kali feminism dinisbatkan kepada Gerakan wanita
yang menuntut persamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan. (Bendar 2020, 26). Kata
ini sendiri pertama kali dicetuskan oleh Charles Fourier, seorang aktivis
sosialis utopis pada 1873. Namun jika melihat sejarahnya, maka akan di dapati
bahwa Gerakan feminism mendapatkan wadah pertama kali pada tahun 1785, pada
masa ini muncul sebuah seruan yang menuntut persamaan antada wanita dan pria
yang berpusat di Eropa, lambat laun pergerakan ini berpindah dari Eropa ke
Amerika dengan pesat sejak publikasi John Stuart Mill yang berjudul Perempuan
Sebagai Subjek tahun 1869.(Hasyim 2012, 79). Salah satu Gagasan yang dikemukakan
oleh kaum feminis adalah pengarusutaraan gender (gender mainstreaming) atau
sebuah upaya untuk mencapai kesetaraan gender melalui perencarnaan dan
penerapan kebijakan pda organisai dan institusi berpersktif gender.(Khuseini 2018, 298–99). Namun bagaimanakah
Gagasan ini ketika berada di Indonesia?
Feminisme
Pra-Kemerdekaan
Tokoh Feminis pada rentan
waktu penjajahan berusaha untuk memberantas kebutaan huruf, subordinasi, dan
keterbelakangan kengetahuan. Nyai Achmad Dahlan (1872-1946), beliau menjadi
salah satu tokoh yang menggagas perubahan posisi dan peranan perempuan setelah
mengalami penurunan pada masa penjajahan di Yogyakarta. Nyai Achmad Dahlan
mendirikan pondok pesantren untuk putri sebagai pusat kader santri dan ulama
wanita, serta menditikan sekolah umum. Dilain sisi Nyai Achmad Dahlan juga
aktif dalam mengikuti kegiatan sosial keagamaan pada Lembaga Sopo Tresno (1914)
dan dirubah menjadi Aisyiah (1917). Keinginannya untuk berperan dalam bidang
pendidikan ini tidak lain karena, semakin terdidik seorang perempuan, maka
semakin mudah perempuan di ajak untuk maju. (Aliyah, Komariah, dan Chotim 2018,
147)
Selain di Yogyakarta, di Jawa
Tengah terdapat Raden Ajeng Kartini (1879-1904) seseorang yang berjuang utuk
persamaan hak wanita (emansipasi) melalui bidang pendidikan. (Aliyah, Komariah, dan Chotim 2018, 148). Keprihatinannya
karena diperlakukkan berbeda oleh orangtuanya dengan saudara laki-lakinya yang
disekolahkan di Leiden negeri Belanda, (Djoeffan 2001, 286) serta terhadap
kondisi perempuan pada masa penjajahan, dimana wanita-wanita di Indonesia
tertekan dan terisolasi dengan keadaan, menjadikannya berusaha untuk memajukan
dan mensejahterakan para wanita. Usaha Kartini ini, juga sama seperti Nyai
Achmad Dahlan yaitu dengan mengadakan pendidikan-pendidikan dan sekolah-sekolah
bagi kaum hawa. (Aliyah, Komariah, dan Chotim 2018, 148)
Ide Emanasi yang di gagas
oleh kartini Kartini, kemudian dilanjutkan oleh kerabatnya dari Jawa Barat,
yaitu Dewi Sartika (1884-1947) pelopor pergerakan kaum wanita di Jawa Barat
pada bidang pendidikan. Dewi Sartika dilahirkan dari kalangan bangsawan (menak)
Sunda ayahnya Raden Rangga Soemanagara (Patih Bandung) dan ibunya Raden Ayu
Rajapernas (Putri Bupati Bandung). Ketika ia berumur Sembilan tahun, ayahnya
dibuang ke Ternate, karena dituduh dalam perencanaan pembunuhan Bupati Bandung
R.A.A. Martanegara (keturunan menak Sumedang) dan para pejabat Belanda
di Bandung. Hal ini yang membuatnya harus berhenti dari sekolah dan menanggung
penderitaan karena teman-temannya menjauhi keluarganya dengan alasan bahwa
ayahnya terlibat dalam peristiwa tersebut. Namun berkat usaha pamannya, Dewi
Sartika mendapatkan pendidikan keterampilan wanita di Cicalengka, dari
sekolahnya ini kemudian ia memiliki cita-cita untuk memajukan anak-anak
perempuan dari kalangan bangsawan (menak) maupun rakyat jelata (somah).
Tepat pada tanggal 16 Januari 1904 ia mendirikan Sekola Isteri, yang dirubah
menjadi Sekola Keutamaan Isteri pada tahun 1910. Di Sekolah ini anak-anak
mendapatkan pelajaran umum, keterampilan wanita (memasak, membatik, menjahit,
dan menyulam) dan pelajaran agama Islam -dimana disekolah Batar dilarang untuk
mengajarkan diajarkan-. (Aliyah, Komariah, dan Chotim 2018, 148–49).
Berikutnya, Rahmah El
Yunusiyah (1901-1969), ia adalah pelopor wanita Islam dan pejuang kemerdekaan. Rahmah
melihat bahwa keum perempuan terdinggal dari lelaki karena peempuan berada
dalam kejahilan dan pasrah kepada kebodohan, hal ini ia amati karena perempuan
tidak mendapatkan kesempatan belajar yang sama dengan laki-laki. Bekal
Pendidikannya diraih selama 3 tahun sekolah dasar dan berguru kepada beberapa
ulama, berkat kegigihannya itu pada 1 November 1923, ia berhasil mendirikan
perguruan khusus wanita yang dikenal dengan Diiyah Puteri School Padang
Panjang. Pendirian sekolah ini bertujuan untuk membentuk puteri yang berjiwa
islam, ibu pendidik yang cakap dan aktif dalam bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan keluarga, masyarakat dan tanah air. Kepercayaannya dengan politik
non-koperasi, manjadikannya menolak dengan keras tawaran subsidi yang ditawarkan
berulang kali oleh pemerintah Hindia Belanda (mereka khawatir dari perguruan
tersebut terlahir tokoh-tokoh perjuangan). Sekolahnya Diniyah Puteri telah
menarik perhatian berbagai negara. Pada 1955 Rektor Al-Azhar mengunjunginya,
kemudian beliau mendirikan fakultas yang dikhususkan untuk kaum wanita. Dua
tahun setelahnya Rahmah diundang ke Al-Azhar untuk diberikan kehormatan
tertinggi yaitu Syaichah yang pertama kali diberikan kepada wanita. (Aliyah, Komariah, dan Chotim 2018, 149–51).
Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), juga dikenal sebagai tokoh ulama perempuan yang bergerak pada bidang politik praktis dari Minangkabau serta pejuang perempuan yang menentang penjajahan dan anti kemapanan kaum adat yang berpihak pada Belanda. Berbeda pandangan daengan tokoh perempuan diatas, Rasuna berpandangan bahwa kemajuan perempuan tidak hanya dilihat dari aspek pendidikan dan sosial saja, melainkan bidang politik juga. Dimana kaum perempuan diharuskan untuk berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan, yaitu dalam bidang politik. (Aliyah, Komariah, dan Chotim 2018, 151).
Feminisme
Pasca-Kemerdekaan
Ketika pasca kemerdekaan,
tepatnya pada Pada Masa Orde Lama tahun 1950 organisasi wanita telah tinggal
namanya saja, namun disamping itu muncul Gerakan baru yaitu GERWANI (Gerakan
Wanita Indonesia). Organisasi yang diikuti oleh sejumlah kalangan menengan
kebawah dan kelas buruh ini menyuarakan untuk mensukseskan pemilu, anti
pemerkosaan, peningkatan kesadaran
perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman berat bagi pemerkosa dan
penculikan, kegiatan sosek bagi kaum perempuan, pendidikan masalah politik,
kesehatan dan monogami. Berikutnya pada tahun 1955 berdiri Organisasi Perempuan
Islam dan Nasionalis. (Djoeffan 2001, 288)
Pada Masa Orde Baru, tidak
ada organisasi perempuan yang bersifat independent, karena semuanya dilebur
kedalam organisasi besar seperti: Golkar, Dharma Wanita (istri PNS), Dharma
Pertiwi (istri pekerja Angkatan Bersenjata) dan organisasi PKK. Beberapa
organisasi ini mendapatkan subsidi dari pemerintah seperti kemudahan
transportasi, kantor, keuangan dan sebagainya. Pada era orde baru organisasi
wanita berorientasi pada (1) kesemuanya dipolitisir untuk kemenangan Golkar dan
sebagai alat untuk menjaga agar tak ada orang/golongan masyarakat yang
menentang rezim yang berkuasa; (2) menetang kecenderungan laki-laki melecehkan
perempuan; (3) kegiatan lebih banyak berhubungan dengan kepentingan suami; (4) mendukung
birokrasi militer. Sehingga wanita kurang berkiprah di dalam birokrasi dan
pembangunan, selain itu hanya ada dua organisasi wanita yang boleh bergerak di
perdesaan yaitu Aisyiah dan PKK. (Djoeffan 2001, 289)
Selanjutnya era Reformasi
muncul gerekan kewanitaan yang membangkitkan kembali semangan kaum wanita
seperti pada pra-kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari organisasi LSM yang
membela rakyat kecil seperti Wardah Hafiz; Suara Ibu Peduli, yang menyuarakan hak
anak; Ratna Sarumpaet, yang memerjuangkan demokrasi dan hak buruh perempuan;
Nursyahbani, yang membela wanita dari objek kekerasan dan kejahatan melalui
supremasi hukum; Aisyah Amini, yang berkiprah dalam dunia politik. (Djoeffan 2001, 290)
Feminisme
Indonesia Abad ke-20
Pada abad ini feminisme di
Indonesia ditandai dengan munculnya dua tokoh feminis yaitu Etin Anwar dan Siti
Ruhaini Dzuhayatin. Keduanya sering disebut sebagai tokoh yang menggabungkan
antata nilai-nilai feminisme dengan ajaran agama Islam.(Amiliyatul Qur’ana dan Afina Ulya 2023, 247). Selain
itu keduanya juga memngadvokasi keharusan perubahan sistematik dan structural
untuk sampai pada kesetaraan gender demi membangun kesadaran masyarakat
Indonesia yang adil gender.
Etin merupakan cendikiawan
muslim yang dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 4 Agustus 1967. Ia
menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana di program studi perbandingan agama di
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kemudian ia melanjutkan program Pascasarjana
di bidang Islamic Studies di McGill University, Kanada dan memperoleh gelar
Ph.D. dengan ketekunannya ia diangkat menjadi professor Religious Studies di
Hobart and Wiliam Smith Colleges, New York. Etin menwarkan lima konsep feminism
Islam, yaitu Zaman Emansipasi, Zaman Asosiasi, Zaman Pembangunan, Zaman
Integrasi, dan Zaman Penyebaran. Dalam menyebarkan feminisme, ia menggunakan
pendekatan:
Pertama, Ijtihad
non-yudisial, yang menurutnya ada kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
memutuskan suatu hukum yang di tetapkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, hal ini
membuka peluang untuk perempuan dalam memutuskan suatu hukum. Kedua, Kontekstualisasi
al-Qur’an dalam mendefinisikan kembali etika gender dan egaliterianisme
sebagai sumber otoritas pemberdayaan perempuan. Ketiga, menemukan
kembali Islam yang transformatif melalui kesetaraan spiritual. Ranah spiritual
adalah bentuk transformasi sejati karena tubuh bergantung pada dalam diri
(ruh). Penemuan kembali kesetaraan spiritual untuk mengetengahkan perempuan
sebagai agen moral yang mengatasi ketimpangan lokal/global serta mempromosikan
kemanusiaan yang inklusif. (Amiliyatul Qur’ana dan Afina Ulya 2023, 254)
Sedangkan Siti Ruhaini
Dzuhayatin adalah pakar gender kelahiran blora, 17 Mei 1963. Ia menempuh S1 di
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1988, S2 Sosiologi di Monas
University 1993 Australia, dan Sosiologi di Universitas Gajah Mada 2011. Dalam
perjuagannya ia ingin menciptakan perubahan sosial melalui advokasi dan
aktivisme. Usahanya juga tertuang untuk mengabdikan diri sebagai aktivis yang
memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. (Amiliyatul Qur’ana dan Afina Ulya 2023, 257). Pemikirannya
ini dilandaskan dengan ayat al-Qur'an kalimat al-mu’minin wal mu’minat
(kaum beriman laki-laki dan perempuan), wa al-salihin wa al-salihat
(orang soleh laki-laki dan perempuan), wa al-muslimna wa al-muslimat
(orang Muslim laki-laki dan perempuan) dan lain sebagainya. (Amiliyatul Qur’ana dan Afina Ulya 2023, 258)
Disamping itu ia juga menjadi
tokoh yang bergerak di dalam Organisasi Muhammadiyah. Ia menginginkan untuk
tercapainya pemikiran yang modernis. Hal ini dibuktikan dengan hasil Musyawarah
Majlis Tarjih 2010 yang salah satu isi kontroversialnya memperbolehkan
perempuan menjadi imam sholat bagi laki-laki jika memenuhi syarat keluasan
pengetahuan tentang Islam dan kefasihan melafalkan ayat-ayat al-Qur’an. Dan Poligami,
yang mana menurutnya banyak sekali mufassir yang hampir semuanya laki-laki
menfasirkan ayat-ayat secara tidak tepat terutama pada persoalan seperti,
penciptaan perempuan, kepemimpinan rumah tangga, kesaksian hingga kewarisan
perempuan. (Amiliyatul Qur’ana dan Afina Ulya 2023, 257)
Penutup
Dari penjelasan yang diambil
dari beberapa jurnal di atas dapat di ketahui bahwa ada beberapa tokoh nasional
yang dinisbatkan sebagai seorang yang mengusulkan Gerakan feminisme, seperti
R.A. Kartini, Nyai Achmad Dahlan, Dewi Sartika. Namun hal ini perlu diteliti
kembali untuk mendapatkan kesimpulan yang benar-benar relevan dengan keadaan
pada waktu itu. Disamping itu ada dua tokoh pada abad 21 ini yang memunculkan
Gerakan feminisme seperti Etin Anwar dan Siti Ruhaini Dzuhayatin, Keduanya
sering disebut sebagai tokoh yang menggabungkan antata nilai-nilai feminisme
dengan ajaran agama Islam. Namun sejatinya di dalam agama Islam senditi telah
dibahas sedemikian rupa mengenai pemenuhan hak-hak perempuan, yang tidak perlu
dimasukkan kedalamnya nilai-nilai feminisme yang lahir dari Barat.
Referensi
Aliyah, Ida Hidayatul,
Siti Komariah, dan Endah Ratnawaty Chotim. 2018. “Feminisme Indonesia dalam
Lintasan Sejarah.” TEMALI : Jurnal Pembangunan
Sosial 1(2): 140–53. doi:10.15575/jt.v1i2.3296.
Amiliyatul Qur’ana, Faidah, dan Nur Afina
Ulya. 2023. “Pengarusutamaan feminisme di Indonesia: Studi pemikiran Etin Anwar
dan Siti Ruhaini Dzuhayatin.” Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak
18(2): 245–65.
Bendar, Amin. 2020. “Feminisme Dan Gerakan
Sosial.” Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama 13(1).
Djoeffan, Sri Hidayati. 2001. “Gerakan
Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang.” Mimbar (3).
Hasyim, Zulfahani. 2012. “Perempuan Dan
Feminisme Dalam Perspektif Islam.” Muwazah 4(1).
Khuseini, A. Abdulloh. 2018. “Institusi
Keluarga Perspektif Feminisme.” Tsaqafah 13(2): 297.
doi:10.21111/tsaqafah.v13i2.1510.
Sumber Foto: ykp.or.id
Tag: #feminisme #indonesia #sejarah #perempuan
Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Penulis: Handila
Comments
Post a Comment