Oleh: Usamah Sirojul Haromain
Perempuan
dalam berbagai sisi sering dikaitkan dengan suatu istilah yang melekat
mengenai posisinya dalam media yaitu ketidakadilan, ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini
berangkat dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia
terhadap non manusia atau alam.[1]
Foucault, sebagai filsuf pasca-strukturalis,
menyatakan bahwa tubuh dikuasai oleh modernitas melalui kekuasaan bio-medis.
Dia berargumen bahwa secara khusus tubuh perempuan diamati dan dikendalikan
sedemikian rupa dengan ketat karena tubuh dalam pandangan moder-nitas merupakan
sarana produksi.[2]
Tubuh perempuan dapat dikatakan menempati posisi utama
dalam wacana modernitas. Lebih lanjut Foucault menyebutnya sebagai fetisisme
tubuh karena penetrasi regulasi wacana yang berpusat pada tubuh, utamanya
persoalan rahim. Akibatnya, perempuan menjadi polisi bagi tubuhnya sendiri. Tubuh
perempuan diawasi sedemikian rupa, semata-mata untuk memenuhi standar kriteria
wacana yang beredar di masyarakat. Pengawasan ini sering disebut sebagai
panoptisisme.[3]
Tubuh perempuan dan eksistensi menjadi bagian yang
saling mengikat ketika tubuh menjadi titik awal mengenai eksistensi perempuan
itu sendiri ada dua
hal yang menjadi menarik terhadap kajian tubuh dan perempuan, yakni pertama bahwa
tubuh termasuk ke dalam ranah seksualitas dan perempuan, akan tetapi
kemudian mengalami paradoks dan ironi. Saat ini perempuan masih belum
sepenuhnya menerima hak yang seharusnya ia dapatkan, sehingga terdapat pihak
lain baik dalam bentuk individu, kelompok, norma, bahkan aturan mengikat yang
mempunyai kewenangan untuk memberikan makna, mengikat dalam aturan, dan bahkan
melakukan kontrol penuh atas tubuh perempuan. Kedua, saat ini konstruksi ataupun
pemaknaan perempuan baik dalam ranah publik ataupun privat menjadikan perempuan
pada posisi subordinat sehingga menyebabkan kerentanan sosial baik secara
fisik, reproduksi (kesehatan), dan bahkan keberadaan atau eksistensi perempuan
itu sendiri.[4]
Dari berbagai permasalahan diatas perempuan sering
dijadikan politik tubuh, politik tubuh dalam
feminisme adalah salah satu isu penting dalam gerakan feminis. Berikut
penjelasan lebih detailnya:
Pertama, tubuh perempuan sebagai objek kontestasi: Tubuh perempuan seringkali
menjadi objek yang diperebutkan dan dikontrol oleh pihak-pihak di luar dirinya,
seperti laki-laki dan struktur sosial patriarki. Terdapat
upaya untuk meletakkan standar nilai tertentu pada tubuh perempuan.
Kedua, kekuasaan dan pengetahuan, menurut pemikiran
Foucault, kekuasaan dapat menembus dan mengontrol individu hingga ke hal-hal
yang paling intim, termasuk tubuh dan seksualitas. Pengetahuan yang dianggap
otoritatif, seperti dalam agama, kedokteran, dan pendidikan, dapat digunakan
untuk melanggengkan kekuasaan atas tubuh perempuan.
Ketiga, tubuh perempuan dalam Islam, dalam konteks Islam,
tubuh perempuan diidentifikasi dengan rahim yang dianggap sebagai keistimewaan
perempuan. Namun, konstruksi sosial patriarkal seringkali mengeliminasi
semangat universal Islam yang menghormati perempuan sebagai manusia utuh.
Keempat, resistensi feminis: Feminisme berupaya
untuk membebaskan tubuh perempuan dari kontrol dan dominasi pihak luar, serta
menegaskan otonomi dan kedaulatan perempuan atas tubuhnya sendiri. Hal ini
menjadi salah satu fokus penting dalam gerakan feminis. [5]
Tidak
hanya politik tubuh saja bahkan kekersan seksual juga sering dirasakan oleh
permepuan-perempuan Menurut perspektif feminisme, kekerasan seksual merupakan
manifestasi dari ketidaksetaraan gender dan struktur kekuasaan yang masih
memarginalkan perempuan dalam masyarakat. Beberapa poin penting mengenai
pandangan feminisme terhadap kekerasan seksual:
- Kekerasan
seksual terjadi karena adanya budaya patriarki yang menempatkan laki-laki
sebagai pihak yang dominan dan memiliki kuasa atas perempuan. Hal ini
menyebabkan perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual.[6]
- Korban kekerasan
seksual, yang sebagian besar adalah perempuan, sering kali mengalami
"victim-blaming" di mana mereka disalahkan atas tindakan yang
menimpa diri mereka. Hal ini merefleksikan adanya bias gender dalam
masyarakat.
- Kurangnya
pemahaman dan dukungan yang memadai dari institusi, seperti sekolah atau
kampus, terhadap korban kekerasan seksual juga memperparah dampak yang
dialami oleh korban. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi kebijakan
untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi semua pihak.
- Feminisme
menekankan pentingnya kesadaran kritis dan tindakan kolektif untuk
mengatasi akar penyebab ketidaksetaraan gender dan kekerasan seksual di
berbagai institusi, termasuk institusi pendidikan.[7]
[1] Hermes, Joke., Media Representations of Social Culture:
Gender” Dalam Media Studies: Key Issues
and Debates, (London: SAGE Publications, 2007).
[2] Foucault, Michel., Sejarah Seksualitas: Seks Dan
Kekuasaan, Terj. Rahayu S. Hidayat
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000).
[3] Santi, Sarah., ‘“Khitan Perempuan: Legitimasi Agama Dan
Budaya Atas Kekerasan Dan Pengendalian
Tubuh Perempuan.”’, 2006, 1–9.
[4] Saptandari, Pinky., Beberapa Pemikiran Tentang Perempuan
Dalam Tubuh Dan Eksistensi., 2 vols (Biokultural 2, 2003).
[5] Akhiriyati Sundari, ‘Rezim Seksualitas Dan Agama: Sketsa
Politik Tubuh Perempuan Dalam Islam’, 2016,
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/rezim-seksualitas-dan-agama-sketsa-politik-tubuh-perempuan-dalam-islam.
[6] Rifki Elindawati, ‘Perspektif Feminis Dalam Kasus Perempuan
Sebagai Korban Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi’, 2021.
[7] Ridwan,Tajudin,Nurul, ‘Perspektif Feminisme Dalam
Menganalisis Pelecehan Seksual Di Sekolah’, 7, 2024.
Sumber Foto: Pew Research Centre
Tag: #islam #feminisme #kekerasan #wanita #perempuan
Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Penulis: Usamah Sirojul Haromain
Comments
Post a Comment