Kritik Terhadap Liberalisasi Pemikiran Islam

 

Oleh: Muhammad Dini Syauqi Al Madani

Pemikiran liberal di Eropa pada mulanya bertujuan untuk membebaskan manusia dari penindasan manusia lainnya. Secara etimologi kata liberal berasal dari kata “liber” berarti bebas atau merdeka. Seiring perkembangan zaman hal tersebut kemudian diartikan dengan pemberian kebebasan kepada manusia seluas-luasnya. Adapun lawan dari kebebasan ini adalah absolutisme kekuasaan, depotisme atau aliran otoriter.

Dalam konteks liberalisasi islam, hal ini merupakan pemberian kebebasan terhadap individu di dalam menentukan pilihannya mulai dari kehidupan, sosial, politik, agama, dll. Yang mana kebebasan tersebut menjadi pondasi utama terhadap arah kehidupannya. Dari sinilah yang kemudian memunculkan masalah baru yang berdampak buruk terhadap agama yaitu kebebasan dalam menganut dan meyakini serta mengamalkan apapun sesuai kecenderungan, kehendak, serta selera masing-masing, dan menjadikan agama sebagai urusan individu. Oleh karenanya amar ma’ruf wa nahi munkar merupakan sesuatu yang bertentangan dengan liberalisme.

Racun berbahaya tersebut telah lama merasuki tubuh umat Islam yang ditandai dengan modernisme dan post-modernisme dengan menghasilkan tokoh-tokoh yang tidak asing salah satunya yaitu Nasr Hamid Abu Zayd. Tidak cukup sampai disitu, ia juga merasuki umat Muslim di Indonesia yang penyeberannya ditujukan terhadap kampus Islam seperti UIN dan IAIN. Yang seharusnya menjadi garda terdepan di dalam menjaga kemurnian akidah justru malah merusaknya. Hal ini dapat dilihat dari statement yang cukup terkenal yaitu “khalif ma’ruf” nyelenehlah maka kamu akan terkenal. Hal inilah yang kemudian berdampak terhadap penyebaran liberalisme dalam tubuh umat Muslim di Indonesia.

Di Indonesia perkembangan liberalisme akan cukup pesat yang ditandai dengan masyarakat Indonesia yang rasional dalam menyikapi beragam fenomena keberagaman, modernisasi dan rasionalisasi yang berjalan seiringan dengan pergerakan sekularistik, respon gerakan sekuler di dalam menjawab persoalan kontemporer, dan dorongan terhadap penafsiran al-Qur’an yang lebih subtantif, rasional, dan kontekstual supaya tidak terpinggirkan oleh dinamika ilmu pengetahuan. Dari sinilah yang kemudian melahirkan beberapa wacana seperti antara agama dan gender.

Adapun di dalam proses kritisasi terhadap kesucian al-Qur’an sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumanto Al Qurtuby bahwasannya al-Qur’an adalah palsu yang disebabkan oleh kecelakaan sejarah dengan adanya kesepakatan terselubung antara Khalifah Utsman dan Zaid bin Tsabit. Hal ini sebenarnya cukup disayangkan, karena sebenarnya jaringan kritisisme tersebut terjebak oleh jaringan pemikiran Barat yang sekuler dan liberal. Alhasil mereka tidak sadar dan tertipu oleh hawa nafsu mereka sendiri. Alih-alih ingin bersikap kritis terhadap al-Qur’an malah tidak kritis terhadap pemikiran yang diadopsinya, sehingga berlomba-lomba untuk mengambil pendapat orientalis.

Adapun antara gerakan pembaruan syari’ah atau liberalisme, para aktivis gerakan liberalisme tersebut menjadikan syariat islam sebagai objek kritik yang perlu dihabisi dikarenakan dianggap sebagai beban sejarah yang menghalangi perkembangan dan pembangunan masyarakat yang menganutnya. Uniknya, mereka melakukan hal tersebut dengan dalih tajdid dan ijtihad. Padahal tajdid sendiri bukan barang baru dalam islam yang telah dimulai sejak 1792. Dari sinilah kemudian runtuhlah gerakan tajdid yang baru mulai di zaman sekarang.

Dari beberapa maklumat di atas dapat penulis sampaikan kritik terhadapnya, yang di mulai dari sisi historis, kelompok liberal senantiasa mengaitkan bahwasannya syariat islam yang lahir diturunkan pada abad ke-7 yaitu zaman Rasulullah saw tidak relevan kembali dengan zaman sekarang, sehingga perlu adanya revisi terhadapnya. Pernyataan seperti ini menimbulkan beberapa persoalan yaitu penghilangan terhadap nilai universalitas hukum Islam, yang disebabkan anggapan syariat yang hanya berlaku pada masyarakat Arab abad ketujuh, serta kelompok tersebut juga menjadikan Islam sebagai budaya Arab semata.

Dari segi maqasid syari’ah, kelompok liberal berpendapat bahwasannya seluruh hukum islam memiliki tujuan atau maqasid-nya masing-masing yang bertujuan untuk maslahah manusia. Masalahnya apa yang dianggap maslahah pada zaman Rasulullah saw belum tentu maslahah pada zaman sekarang, semisal hukum salat menggunakan dua bahasa (bahasa Arab dan Indonesia) dengan alasan “kan inti salat adalah bagaimana berkomunikasi secara mesra dengan Tuhan, maka bisa dong menggunakan bahasa yang dipahami yang berasal dengan hati, jadi boleh dong dengan bahasa Indonesia”. Nah, kalau sudah sampai pada tahap ini, sejatinya mereka sudah menghapus yang hukum yang sifatnya qat’iy, dan ini dilarang di dalam Islam. Dari sinilah kemudian yang perlu dipertanyakan adalah apa maksud dari maslahah dari kelompok liberal ini? Apakah maslahah merupakan konsep relatif? Kemudian bagaimana bila terjadi konflik di tengah masyarakat dalam mempersepsikan maslahah? Tentunya para liberalis menjawabnya dengan ide-ide nyeleneh mereka.

Maka apabila konsep maslahah ini diterapkan menurut hawa nafsu saja, sebagaimana yang dikemukakan dalam berbagai pembahasan, maka bukan hanya hukum islam saja yang akan runtuh, melainkan agamapun juga akan menjadi absurd dan tidak berarti lagi. Orang akan mengatakan bahwa tujuan beragama adalah untuk menciptakan kebaikan, kemaslahatan, kesejahteraan bagi manusia untuk menciptakan kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan bagi manusia dan juga dapat untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan, bila seseorang mampu mencapai tujuan ini tanpa melalui agama, maka dia tidak perlu lagi beragama.

Dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM), kelompok ini menempatkan manusia sebagai sentral daripada penentu segala kebijakan. Serta juga menjadikan HAM sebagaimana kitab suci yang tanpa cacat dengan tujuan untuk menjadi acuan untuk menakar dan menilai segala-segalanya, yang mana hal tersebut ditakar sesuai dengan ketentuan dengan HAM. Sehingga ketika syariat bertabrakan dengan HAM, maka syariat harus diubah dan disesuaikan dengan HAM.

Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwasannya HAM adalah produk yang dibangun diatas landasan filosofis dan pandangan hidup masyarakat Barat sekuler yang bertentangan dengan pandangan Islam. Dalam pandangan Barat ia menempatkan manusia sebagai pusat segala-segalanya dan memiliki otoritas penuh untuk mengatur hidup dan kehidupannya, serta juga memiliki kebebasan yang mutlak. Bahkan Tuhan pun tidak berhak untuk turut campur mengaturnya. Oleh sebab itu menggunakan HAM sebagai kritik terhadap hukum Islam bukan hanya tidak tepat melainkan juga merupakan sebuah kekeliruan besar.

Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwasannya orang-orang non Muslim selalu berusaha untuk menghancurkan Islam dengan berbagai cara karena kebencian mereka terhadap Islam, sebagaimana yang sudah difirmankan oleh Allah swt:

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka." (Al-Baqarah: 120)

Terutama dengan merusak, menghancurkan akidah seorang Muslim sehingga mereka dzahirnya muslim pada hakikatnya sudah dikatakan tidak seorang muslim lagi dan ini juga yang sudah diprediksi oleh Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib Ra. Nanti di akhir zaman banyak seorang muslim yang akidahnya sudah menyimpang dan pada hakikatnya mereka sudah kafir. Jika akidah sudah rusak maka syari’ah dan akhlakanya pun ikut rusak, dan hal itu yang diinginkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.

 

Sumber Foto: ikromulmuslimin.com

Tag: #islam #liberal #indonesia #liberalisme

Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani

Penulis: Muhammad Dini Syauqi Al Madani

Comments