Oleh: Hendy Arya Fahruddin
Penting
untuk kita ketahui pembahasan yang cukup unik untuk mengulasnya namun tidaklah
lucu bila disepelekan begitu saja diera sekarang. Pembahasan ini menekankan
benar-benar bagaimana “adab manusia secara umum terhadap al-Qur’an” maksudnya tidak hanya sekedar saran ataupun motivasi
namun seakan-akan memaksa kita untuk melakukannya, bukan berarti apa-apa tidak
lain dan tidak bukan ini untuk keberlangsungan kita diakhirat kelak.
Allah
ta’ala memuliakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalama dengan mukjizat
al-Qur’an yang keampuhannya abadi sepanjang masa. Dengan mukjizat tersebut,
Allah ta’ala menantang seluruh bangsa manusia dan jin, serta membungkam
orang-orang yang sombong dan condong pada kesesatan. Sebaliknya, Allah ta’ala
menjadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hati orang-orang yang memiliki ketajaman
mata batin dan pengalaman spiritual yang cemerlang. (Adab Diatas Ilmu 2
terjemah, kitab at-Tibiyan fii Chamalatil Qur’an, h.5)
Allah
ta’ala juga melipatgandakan pahala bagi orang yang membaca al-Qur’an. Maka, Dia
memerintahkan kita agar benar-benar memperhatikan dan mengamalkan kandungan
al-Qur’an, menggunakan “adab” dalam berinteraksi terhadapnya, serta
bersungguh-sungguh dalam memuliakannya. (Adab Diatas Ilmu 2 terjemah, kitab
at-Tibiyan fii Chamalatil Qur’an, h.7)
عن تميم الدّاريّ رضي
الله عنه قال: انّ النّبي صلّى الله عليه وسلّم قال: (الدين النصحة) قلنا: لمن.
قال: (لله,ولكتابه, ولرسوله, ولاءمتته المسلمين, ولعامتهم(.
Diriwayatkan dari Tamim ad-Darii Radhiyallahu
‘Anhu
qola: nabi shalallahu ‘alaihi wassalama bersabda: (agama adalah nasihat). Kami bertanya: ‘untuk
siapa?’. Beliau menjawab, (untuk memenuhi hak-hak Allah ta’ala, kitab-Nya,
rosul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya. (Kitab
at-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an; diambil dari shahih
Muslim, oleh Imam Nawawi).
Imam al-Hafizh Abu al-Fadhl al-Qadhi ‘Iyadh berkata:
“barang siapa meremehkan al-Qur’an yang agung atau Mushaf atau sesuatu darinya,
mendustakan hukum atau berita yang telah disebutkan secara jelas didalamnya,
ataupun menetapkan sesuatu yang ditiadakan atau meniadakan sesuatu yang
ditetapkannya, padahal ia telah mengetahui ataupun ragu-ragu atas ketentua-Nya,
makai a telah bisa dibilang kafir berdasarkan kesepakatan para ‘ulama”.
Apa yang menjadi contoh pula yaitu, dari membawanya (jangan ditenteng), membacanya jangan setarakan dengan (paha) diatas (pusar) itu harus, meletakannya (jangan ditempat yang sekiranya tempat itu dulunya rak sepatu), poin ketiga sebagaimana yang dikatakan oleh As-syaikh az-Zarnuji Rahimahullahu Ta’ala dalam kitab Ta’limul Muta’alim disebut dengan Wira’i atau Waro’.
Sumber Foto: gambar-kartun-keren.blogspot.com
Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Penulis: Hendy Arya Fahruddin
Comments
Post a Comment