Oleh: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Dalam
sejarah peradaban Islam, politik bukanlah sesuatu yang bisa dipisahkan dari
agama. Islam memiliki konsep politik yang jelas, dan ini diakui tidak hanya
oleh umat Muslim, tapi juga oleh banyak cendekiawan Barat. Salah satunya, Sir
Thomas Arnold, yang dalam bukunya The Caliphate menegaskan bahwa Nabi Muhammad
SAW adalah pemimpin agama sekaligus kepala negara.
Tak hanya
itu, cendekiawan lainnya seperti DB. Macdonald dan Prof. HR Gibb juga mengakui
bahwa Islam membangun sistem politik yang pertama di Madinah dan membentuk
tatanan hukum yang unik. Prof. HR Gibb bahkan menyebut Islam sebagai sistem
yang mencakup aspek sosial, politik, dan hukum.
Menariknya,
meskipun ada beberapa orang Muslim yang berpendapat bahwa Islam hanya sebatas
dakwah agama, para cendekiawan seperti Dr. V. Fitzgerald justru menekankan
bahwa Islam adalah kombinasi antara agama dan sistem politik yang tak
terpisahkan. Meskipun ada gerakan modernis yang berusaha memisahkan keduanya,
dasar pemikiran Islam tetap memandang kedua aspek ini sebagai satu kesatuan.
Dalam
sistem politik Islam, kepemimpinan dikenal dengan istilah "imamah"
dan "khilafah". Mayoritas ulama Islam, kecuali Syi'ah
Imamiyah, sepakat bahwa pemimpin dipilih melalui musyawarah dan pemufakatan
umat, bukan melalui penunjukan atau warisan. Prof. DR. Abd. Razaq as-Sanhuri
bahkan menyebut keimamahan sebagai sebuah kontrak yang mengikat antara pemimpin
dan umat.
Hal ini
juga tercermin dalam Al-Qur'an dan Hadits yang menegaskan pentingnya pemimpin
untuk memenuhi janji-janjinya kepada umat. Dalam surat Al-Ma’idah ayat 1, Allah
berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji."
Hal ini menunjukkan bahwa kontrak politik antara pemimpin dan umat harus
dihormati dan dijaga dengan baik.
Di samping
itu, umat memiliki hak istimewa untuk mengangkat dan memberhentikan pemimpin
jika ditemukan penyimpangan. Para ulama, seperti Imam asy-Syafi’i dan
Al-Ghazali, sepakat bahwa pemimpin yang zalim atau tidak amanah bisa
diberhentikan oleh umat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kepemimpinan
bukanlah otoritas mutlak, tetapi tunduk pada pengawasan dan kontrol umat.
Untuk
mengefektifkan pengawasan, umat bisa mendelegasikan wewenangnya kepada ulama untuk
memastikan bahwa pemerintah tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, dalam bukunya Min Fiqihi Ad-Dawlah fi al-Islam, menjelaskan
beberapa karakteristik negara Islam, antara lain:
1. Negara
Sipil: Pemimpin dipilih oleh rakyat melalui mekanisme syura (musyawarah) dan
baiat. Negara dikelola oleh sipil, bukan oleh agamawan.
2. Negara
Berbasis Hukum: Segala aspek kehidupan, baik privat, publik, maupun hubungan
internasional, diatur berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.
3. Negara
yang Demokratis: Pemimpin tidak otoriter, tetapi menjalankan pemerintahan
dengan hikmah dan musyawarah.
4. Negara
yang Melindungi Hak-Hak Rakyat: Negara harus melindungi hak-hak dhuafa dan
mereka yang tertindas.
5. Negara
yang Menjamin Kebebasan: Setiap warga negara dijamin kebebasannya, termasuk hak
untuk menjalankan agama tanpa hambatan.
Dari sini kemudian
dapat diketahui bahwasannya sistem politik Islam memberikan landasan kuat bagi
terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera, di mana kepemimpinan diatur
oleh prinsip-prinsip syariat yang melindungi hak-hak umat dan memastikan
keberlangsungan pemerintahan yang amanah. Wallahu a'lam.
Sumber Foto: retizen.republika.co.id
Tag: #islam #politik #agama #damai #khalifah
Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Penulis: Muhammad Dini Syauqi Al Madani
Comments
Post a Comment