Kritik Terhadap Feminisme

 

Oleh: Handila

Pengsetaraan gender merupakan salah satu agenda yang di upayakan oleh feminis. Ia merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraa melalui perencanaan kebijakan yang berspektif gender pada organisasi dan institusi. Dalam hal ini institusi keluarga menjadi jalan struktur patriarki yang merupakan cikal-bakal terciptanya masyarakat berkelas-kelas. Kaum Komunis Marksis mengatakan bahwa kaum perempuan adalah private property bagi suamunya. Disamping itu, Feminis radikal juga mengatakan di dalam Notes From the Second Sex dikatakan bahwa Lembaga perkawinan ialah Lembaga formulasi untuk menindas perempuan. Kaum feminis liberal, Sarah Grimke mengatakan bahwa wanita yang menikah terpenjara dalam sebuah tirani, dibawah kekuasaan seorang tiran (suami). Kaum feminis lesbian lebih keras lagi, mereka beranggapan bawa hubungan hetero seksual di dalam keluarga merupakan Lembaga dan ideologi, yang merupakan benteng bagi kekuatan laki-laki, maka dari itu lesbian adalah solusi darinya, bahkan lesbian bisa dijadikan model sebagai perenpuan mandiri.

Kaum feminis menggunakan argument bahwa patriarki (supremasi laki-laki) muncul karena adanya pembagian kerja berdasarkan atas seks. Pembagian tersebut menyebabkan perempuan harus benar-benar bertanggung jawab atas pekerjaan yang bersifat domestik. Hal ini yang menyebabkan para lelaki menganggap remeh penindasan yang dialami oleh perepuan di rumah tangga, pasar kerja, politik dan budaya. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa kaum laki-laki selalu memposisian perempuan pada posisi kedua dalam tatanan kehidupan. Menurut kaum feminis tidak ada alasan yang logis mengenai pembagian kerja berdasarkan seks, hal ini bukan hanya melemahkan perempuan secara politis dan ekonomis, melainkan juga mendegradasikan perempuan secara seksual dan kultural.

Tuduhan negatife yang dilakukan kaum feminis tersebut, yang kemudian menimbulkan berbagai macam ide dan gagasan untuk menyetarakan antara perempuan dan laki-laki. Mereka ingin merubah institusi keluarga yang sebelumnya bersifat vertikal (dimana suami menjadi kepala keluarga) menjadi struktur yang bersifat horizontal atau kepemimpinan dalam keluarga di dalam keluarga dapat pegang oleh siapa saja. Jika penghasilan istri lebih besar dibandingkan penghasilan suami maka istrilah yang berhak memimpin keluarga atau menjadi kepala keluarga. Demikian, kaum feminis menginginkan institusi keluarga yang sama rata, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak dan kesempatan dalam segala hal. Di Indonesia, mereka mewnawarkan konsep baru keluarga dengan dalih kesetaraan kaum perempuan di mata hukum. Komplikasi Hukum Islam (KHI) merumuskan fikih baru dalam Islam, diantaranya adalah: asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1); perempuan bisa menjadi saksi sebagaimana laki-laki (pasal 11), calon istri bisa memberikan mahar (pasal 16), perkawinan berbeda agama dipernolehkan (pasal 54), dan pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama (pasal 8 ayat 3), dan anak diluar nikah (zina) yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak waris dari ayahnya (pasal 16 ayat 2). (Khuseini 2018, 298–308)

Dalam hal ini, Islam mengajukan terhadap institusi keluarga berbasis feminis, dimana biasanya bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran Islam. Dalam agama Islam, keluarga merupakan basis awal yang menjadi pondasi dalam bangunan komunitas dan masyarakat Islam, penggabungan antara fitrah kedua jenis kelamin (QS. 30: 21 dan QS. 2: 187). Lebih dari itu keluarga merupakan sistem alamiah dan berbasis fitrah yang bersumber dari pangkal pembentukan manusia, segala sesuatu di alam semesta kosmos,dan berjalan menurut cara Islam. Keluarga ialah sistem Rabbani yang memuat segala karakteristik dasar fitrah manusia, kebutuhan dan unsur-unsurnya. Lebih jauh lagi, keluarga merupakan tempat pengasuhan alami yang melindungi keturunan yang baru lahir dan merawatnya, juga mengembangkan fisik, akal dan juga spiritualitasnya. Hal ini karena di dalam keluarga terdapat perpaduan yang menyatu antara perasaan cinta, empati dan solidaritas. Beberapa poin yang dapat dikategorikan bertentangan adalah beberapa berikut:

Pertama, Institusi keluarga berbasis feminis sering menekankan kesetaraan absolut antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam peran dan tanggung jawab di dalam rumah tangga. Dalam Islam, meskipun laki-laki dan perempuan setara di mata Allah, mereka memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda namun saling melengkapi. Misalnya, suami memiliki tanggung jawab utama sebagai pencari nafkah, sementara istri memiliki peran utama dalam pengasuhan anak dan manajemen rumah tangga. Islam memandang peran ini sebagai bagian dari tatanan ilahi dan fitrah manusia, bukan sebagai bentuk penindasan atau ketidaksetaraan. Sebagaimana ayat berikut wa lahunna mitslu alladzi 'alaihinna bi al-ma'ruf (QS. 2:228) di dalam tafsir Jalalain disebutkan bahwa Dan para wanita (mempunyai hak) yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, yang sesuai syariat baik dalam pergaulan sehari-hari dan meninggalkan hal-hal yang dapat encelakakan istri dan yang lainnya.

Kedua, Feminisme sering kali mengkritik struktur keluarga patriarkal sebagai sumber utama penindasan terhadap perempuan. Namun, dalam pandangan Islam, konsep patriarki dalam keluarga bukan berarti dominasi laki-laki, melainkan tanggung jawab kepemimpinan dan perlindungan. Islam mengajarkan bahwa laki-laki harus bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya dan bertindak dengan adil dan penuh kasih. Kepemimpinan laki-laki dalam keluarga diinterpretasikan sebagai amanah untuk melindungi, memberikan nafkah, dan mendukung keluarganya, bukan untuk menindas atau mengeksploitasi. Allah berfirman wa li al-rijal 'alaihinna darajah (QS. 2:228). Di dalam tafsir Jalalain ayat tersebut ditafsirkan sebagai berikut, yaitu akan tetapi pihak suami memiliki satu tingkat kelebihan tentang hak, seperti keharusan ditaati karena telah memberikan maskawin dan belanja yang mereka keluarkan dari kantong mereka. Keajiban seorang suami memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara baik. (Al-Baqarah 233).

Hubungan antara suami dan istri diatur berdasarkan prinsip saling menghormati, cinta, dan kasih sayang, tetapi dengan struktur kepemimpinan tertentu. Islam menegaskan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, tetapi ini bukan berarti istri tidak memiliki suara atau hak. Islam memberikan hak yang jelas kepada istri untuk berpartisipasi dalam keputusan keluarga dan menjalankan hak-haknya dalam kerangka yang harmonis dan penuh penghargaan. Kritik terhadap pandangan feminis adalah bahwa upaya untuk menghapus hierarki apa pun dalam keluarga dapat mengabaikan prinsip-prinsip kepemimpinan dan tanggung jawab yang diajarkan dalam Islam.

Ketiga, Beberapa aliran feminisme mungkin melihat peran ibu di rumah sebagai bentuk keterbelakangan atau penindasan, dan mendorong perempuan untuk lebih fokus pada karier di luar rumah. Kritik dari perspektif Islam adalah bahwa hal ini bisa mengurangi pentingnya peran ibu dalam mendidik dan membesarkan anak-anak, yang dianggap sebagai tugas yang sangat mulia dan krusial. Islam mengajarkan bahwa peran ibu dalam pengasuhan anak adalah sangat penting untuk membentuk karakter dan moral anak, serta memastikan kesejahteraan spiritual dan emosional keluarga. Ibu berkewajiban menyusui anak hingga dua tahun (Al-Baqarah 233); ibu telah mengandung dalam keadaan lemah dan menyapunya dalam dua tahun (Luqman 14); dan menjelaskan peranan ibu serta kewajiban untuk mematuhinya (Al Ahqaf:15).

Beberapa pandangan feminis mendorong kemandirian dan otonomi perempuan sedemikian rupa sehingga dapat mengabaikan pentingnya solidaritas keluarga dan peran kolektif dalam rumah tangga. Islam menekankan pentingnya keluarga sebagai unit dasar masyarakat, di mana setiap anggota memiliki peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Fokus yang berlebihan pada individualisme dapat dianggap melemahkan ikatan keluarga dan tanggung jawab kolektif yang menjadi fondasi kehidupan keluarga dalam Islam.

Keempat, Dalam pandangan feminis yang mengkritik patriarki, peran ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah sering kali dianggap sebagai bentuk dominasi. Namun, dalam Islam, peran ayah ini dilihat sebagai tanggung jawab dan kewajiban, bukan hak istimewa. Islam menekankan bahwa ayah harus bertindak dengan keadilan, kasih sayang, dan pengorbanan dalam menjalankan perannya. Menghilangkan peran tradisional ayah sebagai penopang utama dapat dianggap bertentangan dengan prinsip tanggung jawab kolektif dalam keluarga Islam.

Kalima, Beberapa feminis mendukung liberalisasi norma seksual, termasuk pernikahan sesama jenis dan hubungan di luar nikah, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Islam, hubungan seksual hanya diperbolehkan dalam kerangka pernikahan yang sah. Pandangan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan stabilitas keluarga, yang merupakan fondasi masyarakat. Namun di dalam Islam institusi keluarga berbasis feminis adalah bahwa liberalisasi seksual dapat merusak struktur keluarga tradisional dan mengarah pada masalah sosial yang lebih luas.

Akhirnya dapat diketahui bahwa Islam mengrktik institusi keluarga berbasis feminis berakar pada perbedaan mendasar dalam memahami peran gender, struktur keluarga, dan tujuan hidup. Islam menekankan pentingnya keluarga sebagai unit sosial yang integral, di mana setiap anggota memiliki peran dan tanggung jawab yang ditentukan oleh prinsip-prinsip ilahi. Sementara feminisme mempromosikan kesetaraan absolut dan mengkritik struktur patriarki, padahal bagi Islam peran suami sebagai pemimpin disini adalah untuk melindungi isrti.


Sumber Foto: teacherspayteachers

Tag: #feminism #gender #indonesia #equality #liberalism #kritik

Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani

Penulis: Handila


Comments