Oleh: Muhammad Diaz Supandi
Joseph
Lumbard, seorang akademisi Muslim Amerika terkemuka yang mengkhususkan diri
dalam kajian Al-Qur'an, telah memberikan kontribusi dalam wacana dekolonisasi
studi keagamaan. Sebagai profesor Studi Al-Qur'an di Universitas Hamad bin
Khalifa, Qatar, Lumbard menyuarakan kritik tajam terhadap dominasi paradigma
intelektual Barat dalam studi Al-Qur'an. Ia menyoroti bahwa pendekatan ini
masih sangat dipengaruhi oleh warisan kolonialisme epistemologis, di mana
tradisi intelektual Islam sering kali dikesampingkan atau dianggap kurang
relevan. Dalam artikel terbarunya yang berjudul "Decolonizing Quranic
Studies," Lumbard mengungkapkan bahwa tradisi keilmuan Barat cenderung
meminggirkan kekayaan epistemologi Islam klasik, yang sebenarnya memiliki potensi
besar untuk memberikan perspektif alternatif dalam memahami Al-Qur'an.
Lumbard
menyoroti bahwa meskipun umat Islam menghormati Al-Qur'an secara spiritual,
potensi heuristiknya dalam memberikan solusi kontemporer sering diabaikan dalam
analisis akademik. Tradisi intelektual Islam, yang kaya akan refleksi filosofis
dan teologis, tidak dianggap sebagai standar utama dalam wacana akademik
global. Sebaliknya, pendekatan kritis historis Barat, seperti yang diterapkan
di universitas-universitas terkemuka, cenderung mendominasi. Menurut Lumbard,
pendekatan ini sering kali bersifat provinsial dan gagal menghargai pluralitas
epistemologi yang ada dalam tradisi Islam. Salah satu kritik Lumbard adalah
pada paradigma liberal-sekuler yang dominan dalam kajian Islam di Barat.
Paradigma ini, meskipun mengklaim inklusivitas, sering memaksakan kerangka
sekuler pada diskusi pluralisme agama. Akibatnya, tradisi agama lain harus
menyesuaikan diri dengan standar tersebut untuk dianggap relevan. Dalam hal
ini, Lumbard menekankan perlunya membangun paradigma yang lebih inklusif, yang
mengakui kekayaan intelektual dari berbagai tradisi tanpa meminggirkan
nilai-nilai mereka.
Pendekatan
kritis historis juga menjadi sasaran kritik Lumbard karena kecenderungannya
untuk mengabaikan konteks unik tradisi Islam. Sebagai contoh, metodologi ini
sering menggunakan prinsip analogi historis, yang mengasumsikan bahwa manusia
masa lalu berperilaku serupa dengan masa kini. Pendekatan ini, menurut Lumbard,
tidak hanya mengabaikan kompleksitas teologis Islam tetapi juga membatasi
analisis terhadap wahyu dan tradisi Islam klasik. Sebagai perbandingan, Lumbard
juga menyoroti perbedaan dalam pendekatan terhadap teks suci di Barat dan dunia
Islam. Di Barat, analisis teks agama seperti Perjanjian Baru sering berfokus
pada aspek historis dan kritis, sementara dalam studi Al-Qur'an, stabilitas
teks sebagai wahyu ilahi menjadi fokus utama. Perbedaan ini, menurut Lumbard,
menunjukkan kebutuhan untuk mengintegrasikan metode kritis tanpa mengabaikan
nilai-nilai teologis Islam.
Pendekatan
Lumbard menemukan relevansi dalam tradisi Islam klasik, yang menawarkan
keseimbangan antara kritik historis dan keyakinan teologis. Para ulama seperti
Abdullah bin Mas’ud menunjukkan bahwa analisis kritis terhadap teks tidak harus
bertentangan dengan keyakinan terhadap wahyu. Model ini, menurut Lumbard, dapat
menjadi inspirasi bagi sarjana Muslim modern untuk mengatasi dominasi paradigma
Barat tanpa meninggalkan warisan intelektual mereka. Selain itu, Lumbard juga
membahas tantangan aksesibilitas pengetahuan dalam dunia akademik. Publikasi
dalam jurnal berbayar sering kali membatasi akses masyarakat umum terhadap
penelitian akademik. Ia menekankan pentingnya platform terbuka untuk mendorong
distribusi pengetahuan yang lebih inklusif. Ini sejalan dengan upaya
dekolonisasi studi agama, yang berusaha menggantikan narasi Eurosentris dengan
perspektif yang lebih luas dan inklusif.
Dekolonisasi
studi Al-Qur'an, seperti yang diusulkan oleh Joseph Lumbard, merupakan seruan
untuk mengembalikan kekayaan epistemologi Islam dalam wacana akademik global.
Dengan mengkritik pendekatan Barat yang dominan, ia mengajak sarjana Muslim
untuk menggali tradisi mereka sendiri, membangun kepercayaan epistemik, dan
menciptakan narasi alternatif yang lebih inklusif. Pendekatan ini tidak hanya
relevan untuk dunia akademik, tetapi juga untuk membangun identitas intelektual
umat Islam di era modern.
Comments
Post a Comment