Deskontruksi Islam: Islamofobia Prespektif Rasisme Epistemik

 

Oleh: Rifqi Baihaqi Zaki

Fenomena Islamofobia sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban Islam. Jejak awal Islamofobia dapat dilihat dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Pada masa awal penyebaran Islam, muncul resistensi yang kuat dari para pemuka Quraisy, yang kala itu merupakan kelompok penguasa di Mekkah. Mereka merasa terancam oleh ajaran Islam yang membawa nilai-nilai ketauhidan, keadilan, dan kesetaraan sosial, karena hal tersebut bertentangan dengan kepentingan politik, ekonomi, dan ideologi mereka. Dengan masyarakat yang saat itu masih diliputi kepercayaan jahiliah dan menyembah berhala, kebangkitan Islam dipandang sebagai ancaman terhadap status quo. Kebencian dan penolakan sepihak dari kaum Quraisy terhadap ajaran Islam dapat dianggap sebagai bentuk embrio Islamofobia yang berakar pada kepentingan kekuasaan serta ketakutan terhadap perubahan tatanan sosial yang dibawa oleh ajaran Islam.

Dalam catatan barat, islamfobia merujuk pada istilah kontroversi, prasangka dan diskriminasi terhadap islam dan muslim, istilah itu sendiri sudah digunakan sejak tahun 1980- an menjadi populer selepas serangan 11 september 2001. Stigma ini timbul setelah terjadinya hegemoni  di Amerika Serikat secara dahsyat. Dalam hal ini Stigmatisasi pandangan barat terhadap islam mulai tumbuh, diyakini Al-Qaeda sebagai dalang pemberontakan terorisme diseluruh dunia, sehingga AS mengklaim bahwa itu berasal dari jemaah islamiyah. Hal ini berdampak pada penganut agama islam disana, berawal dari Stigmatisasi barat atas peristiwa itu berujung pada pembencian terhadap agama sepihak. Dari Narasi negaitf setelah peristiwa 9/11 orang-orang berspekulasi bahwa kejadian tersebut berawal dari pergerakan umat islam yang bisa meneror ataupun menghancurkan peradaban dominan masyarakat. Islam seringkali dicap sebagai aliran negarif karena banyaknya argumen yang itu kelitu terkait terorisme, kekrasan, dan ketidakadlian permpuan hal ini dapat menyebabkan diskriminasi dan kebencian terhadap umat muslim.

Fenomena Islamofobia yang berkembang pesat saat ini bukan hanya dipengaruhi oleh perspektif Barat, tetapi juga melibatkan sebagian umat Islam sendiri yang terpengaruh oleh ideologi dan narasi negatif tersebut. Internalisasi stigma tentang Islam sebagai agama radikal, rasis, dan penghambat, dominasi masyarakat secarabglobal menjadi bukti dari rasisme epistemik yang memposisikan peradaban Islam secara inferior. Hegemoni Barat melalui berbagai media dan wacana epistemologis telah menciptakan ketidakpercayaan dan perpecahan di kalangan umat Islam, sehingga sebagian dari mereka justru mengadopsi pandangan yang meminggirkan nilai-nilai Islam itu sendiri.

Dari pandangan beberapa tokoh, tentang pertentangan dan permusuhan antara islam dan barat memliki prasangka yang dianggap sebagai other” jayanya islam dengan berabagi persitiwa yang terjadi sehingga barat menganggap ini sebuah ekspansi yang tak pernah berhenti, islam dianggap sebagai ancaman bagi barat lainnya. Dan para pengikutnya menganggap islam sebagai bangsa biadab, tidak rasional, kejam, dan tidak toleransi. Pada saat itu jaya islam tak hanya terlatak pada agama, tetapi juga ada peran ideologi sosial serta politik cemerlang. Islam mengalami kemunduran dan dimulainya renaisans kristen pada abad ke- 15, melalui cara berfikir ini mereka terinpirasi dari ideologi Romawi dan Yunani kuno.

it is difficult to avoid the conclusion that some fundamental

demographic, economic, military, and cultural changes were underway

in Western Europe by the mid-point of the fifteenth century. And all of

these changes paralleled the growth of state power, the formation of

truly sovereign territorial states under the control of ambitious and

aggressive monarchs.

 

Hegemoni islamfobia berawal dari perang salib, hal ini membawa sedikit pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik tentang islam dan muslim. Sebaliknya, kisah-kisah, legenda, dan mitos yang diwariskan dari Perang Salib sering kali hanya mempertegas kesalahpahaman yang telah lama berkembang tentang umat Muslim dan ajaran Islam. Sehingga muncul slogan anti muslim dimulai sejak abad ke- 16.  

 

Memasuki abad ke-18, Humphrey Prideaux menggambarkan Islam sebagai "masalah" bagi seluruh dunia sekaligus sebagai bentuk hukuman atas dosa-dosa para pengikut Kristen. Dalam Broughton’s Dictionary of All Religion, dunia diklasifikasikan menjadi dua kategori: agama yang benar, yakni Kristen dan Yahudi, serta agama yang salah, yaitu semua agama selain keduanya. Pandangan cendekiawan Barat terhadap Islam semakin lama semakin terdistorsi. Mereka mulai mengadopsi literatur yang dipenuhi fitnah terhadap umat Muslim, menggambarkan mereka sebagai makhluk "sub-human," kekuatan brutal, barbar, dan sekumpulan "binatang buas." Gambaran negatif ini juga tercermin dalam karya-karya sastra, di mana umat Muslim sering dijadikan karakter yang terasing dan terdehumanisasi.

           

            Edward Said, dalam Orientalism, mengungkapkan bahwa prasangka anti-Islam dalam sejarah merupakan fenomena yang alami terjadi antara Eurosentrisme dan peradaban Arabo-Islam. Pandangan ini menegaskan legitimasi peradaban Barat sebagai superioritas (supremacy), sementara negara-negara kolonial seperti Indonesia dianggap terbelakang. Sementara itu, Samuel Huntington dalam teori Clash of Civilizations menyatakan bahwa konflik dan permusuhan antarperadaban mencerminkan bentuk rasisme yang telah bergeser dari basis biologis ke budaya, dengan etnis sebagai fondasinya. John Esposito, melalui bukunya The Islamic Threat: Myth or Reality?, menyebutkan bahwa Islam dipandang sebagai musuh abadi Kristen, menggantikan komunisme sebagai musuh utama setelah revolusi 1989. Dengan demikian, ketika membahas Islamofobia dari perspektif sejarah, terlihat bahwa Islam telah lama berhadapan dengan peradaban-peradaban lain yang tidak sejalan, seperti Barat, bahkan sejak awal kemunculannya. Secara mendasar, konflik antarperadaban ini cenderung terus berlanjut, sering kali dipicu oleh kepentingan geopolitik.

 

Dapat disimpulkan bahwa sejak awal kemunculannya, Islam telah bertentangan dengan klaim universalitas Barat. Dengan doktrin yang kuat, Islam mampu memperluas wilayahnya dalam waktu singkat, menjadikannya salah satu imperium terbesar dan terluas dalam sejarah manusia. Pengalaman ini menjadi luka sejarah yang mendalam bagi Barat. Kejayaan peradaban Islam, khususnya dalam ekonomi dan perdagangan dunia antara abad ke-9 hingga abad ke-14, menempatkan Barat dalam posisi terpinggirkan. Namun, kebangkitan Barat melalui Renaisans pada abad ke-15 hingga ke-16 menunjukkan bahwa tradisi intelektual mereka dipengaruhi oleh warisan Romawi-Yunani serta kontribusi besar dari peradaban Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam memainkan peran signifikan dalam membentuk sejarah peradaban dunia selama hampir seribu tahun.

 

Dikupas dari The Cambridge Dictinoary Of Philosophy, kata rasis merupakan permusuhan, penghinaan, merendahkan, atau Prasangka atas dasar klasifikasi praktik sosial dan fenomena yang lebih luas dari perlakuan buruk sosial, ekonomi dan politik yang sering menyertai klasifikasi tersebut. Dilihat dari teori sosial rasisme memliki arti ideologi yang merendahkan (inferiorisasi), suatu diskursus, serta perilaku diskriminatif baik dalam prilaku kolektif. Sedangkan Epistemik diambil dari kata Episteme yang berarti pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa Rasisme epistemik merupakan permusuhan, penghinaan, merendahkan, ataupun prasangka dalam lingkup pengetahuan antara suatu individu maupun kelompok.

 

Ramón Grosfoguel, seorang sosiolog dan pemikir dekolonialis, mengajukan konsep rasisme epistemik sebagai salah satu bentuk Islamofobia. Ia mendefinisikan rasisme epistemik sebagai proses merendahkan dan meminggirkan pengetahuan yang berasal dari luar dunia Barat. Sederhananya, ini adalah pandangan yang menganggap ilmu pengetahuan dari non-Barat sebagai inferior atau kurang bernilai. Grosfoguel berargumen bahwa rasisme epistemik merupakan wujud tersembunyi dari rasisme dalam sistem dunia modern yang didominasi oleh nilai-nilai Barat dan Kristen, yang juga mencakup kapitalisme kolonial dan patriarki. Fenomena ini dapat dilacak melalui sejarah, di mana sistem tersebut secara konsisten mengabaikan dan mengerdilkan kontribusi ilmu pengetahuan non-Barat.

Cendekiawan Farid Hafez, mengidentifikasi ideologi ramon terkait islamophobia sebagai rasisme epistemik dalam tiga hal: pertama, prespektif sejarah dunia, kedua, sebagai menghubungkannya dengan rasisme epistimologi (bentuk paling tersembunyi dari rasisme) dimana pola pikir ramon berasal dari post-kolonialis seperti Foucalt, Derrida, dekolonialis seperti Anibal Quijano, Maria Lugones terhadap Dominasi hegemoni barat.

Dalam pemahaman hegemoni politik-identitas erat kaitannya dengan hegemoni barat, menurut Friedman Jonathan, bahwa hegemoni barat dapat dipahami dari identitas budaya dan justifikasi sejarah yunani romawi yang membentuk tradisi Barat. Ramon Grosfoguel beranggapan bahwa hegemoni politik-identitas merupakan bentuk yang tak terlihat dari privilege epistemic Barat, eurosentris, dan identitas politis dinormalisasikan. seperti yang kita ketahui Hegemoni politik identitas ialah  merujuk pada dominasi suatu kelompok atau komunitas tertentu dalam mendefinisikan dan mengendalikan identitas sosial, budaya, atau politik di masyarakat. Dalam konteks ini, hegemoni identitas terjadi ketika suatu kelompok berhasil memaksakan pandangan mereka tentang identitas—baik itu identitas etnis, agama, gender, budaya, atau nasional—sebagai standar atau norma yang diikuti oleh semua orang. Akibatnya, identitas kelompok lain sering kali diabaikan, direndahkan, atau dimarjinalkan.

Di sisi lain, framing gerakan Barat tidak hanya terbatas pada kategori teritorial, tetapi juga mencerminkan dominasi sebagai kekuatan hegemonik di tingkat global. Dengan Barat yang dianggap sebagai entitas superior, Islamofobia dapat dipahami sebagai kelanjutan dari pandangan rasis yang telah terstruktur dalam sejarah Barat. Dalam konteks ini, rasisme tidak lagi terbatas pada aspek biologis, melainkan telah bergeser ke ranah budaya dan agama. Ramon Grosfoguel, beranggapan bahwa hegemoni politik-identitas merupakan bentuk yang tak terlihat dari privilege epistemic Barat, eurosentris, dan identitas politik yang dinormalisasikan. meneruskan pembahasan tentang baratm bagaimana barat dapat mengendalikan pengetahuan non-Barat dengan menggunakan isue klaim pengetahuan ego-politik yang mengafirmasi prespektif ”titik nol” tentang sudut pandang yang menganggap dirinya diluar dari sudut pandang. Mengkombinasikan oksidentalisme dan orientalisme terdahulu, dengan Barat sebagai superioritasnya berhasil mendapatkan jaminan, dan mereka bisa mengendalikan “other” sehingga membentuk imperial global yang tak terbantahkan.

Di sisi lain, Orientalis memiliki peran signifikan dalam memperkuat wacana anti-Muslim di tingkat global, yang pada dasarnya merepresentasikan ideologi hegemoni Barat. Hal ini tercermin dalam ranah politik, norma budaya, serta media, yang sering kali menggambarkan pandangan penuh kebencian. Wacana anti-Muslim ini dijadikan tolok ukur perbandingan antara Barat dan non-Barat, seperti yang diungkapkan oleh Bayrakli dan Hafez (2019, 109). Baik untuk memperkuat maupun mempertahankan dominasi Barat, Islamofobia berfungsi sebagai alat destruktif yang secara bebas dan sistematis mengisolasi serta memarginalkan umat Muslim. Dalam konteks ini, pandangan serta pemikiran tentang Islam kerap dipersepsikan sebagai ancaman terhadap peradaban dan budaya Barat.

Selain dominasi politik-identitas, othering juga memainkan peran signifikan dalam mendukung operasi Rasisme epistemik. Othering merujuk pada proses sistematis yang mendiskreditkan dan menolak atribut-atribut mulia seperti kebangsawanan, kebanggaan, cinta, harga diri, dan kepahlawanan. Proses ini tidak hanya sebatas fitnah atau memecah belah, tetapi juga melibatkan penyangkalan terhadap hak asasi manusia. Contoh sejarah mencakup bangsa Yunani yang menggambarkan non-Yunani sebagai bangsa barbar atau tragedi pembantaian etnis oleh Rwanda terhadap Bosnia, yang merupakan manifestasi nyata dari othering. Fenomena ini mencerminkan pola pikir yang mendiskriminasi pihak lain sebagai sesuatu yang asing dan inferior, di mana semua yang berbeda dianggap sebagai "yang lain" yang berlawanan dengan “kita.”

Barat dan Timur sering kali diposisikan sebagai dua peradaban yang berbeda dengan kepentingan masing-masing. Barat dianggap sebagai peradaban superior dengan kekuasaan yang dominan, sementara masyarakat non-Barat dianggap inferior dan harus belajar dari Barat. Peradaban Timur, atau yang sering disebut sebagai "other," digambarkan lemah, terbelakang, dan tidak berdaya tanpa pengaruh Barat. Menurut Edward Said melalui konsep Orientalisme, Barat memandang Islam sebagai sesuatu yang asing, inferior, atau bahkan ancaman, dengan label "other." Istilah oksident merujuk pada Barat, sedangkan orient merujuk pada Timur sebagai "yang lain."

 

Orientalisme ini menjadi alat politik bagi Barat, di mana Timur dianggap tidak dapat dipahami secara alami dan direpresentasikan secara stereotip dalam media. Interpretasi yang diberikan sering kali menyimpang dari fakta dan melebih-lebihkan citra negatif tentang Islam. MacKenzie, dalam ilustrasinya, menggambarkan bagaimana Barat memandang Timur sebagai sesuatu yang asing, mencurigakan, dan tidak beradab. Evaluasi ini didasarkan pada kerangka pandangan Barat sendiri, yang kemudian menciptakan bias dan diskriminasi. Gambaran ini dengan jelas menunjukkan bagaimana ideologi othering bekerja, tidak hanya merendahkan budaya Timur tetapi juga keyakinannya.

Dalam pembahasan mengenai epistemologi dalam konteks othering, Ramón Grosfoguel mengaitkannya dengan Islamophobia sebagai bentuk dari rasisme epistemik. Melalui hegemoni politik-identitas dan privilege epistemik, Barat mengklasifikasikan epistemologi dan kosmologi dunia non-Barat sebagai sesuatu yang inferior, dengan menyamakan pandangan tersebut pada mitos, agama, dongeng, atau kebudayaan yang dianggap rendah. Akibatnya, pengetahuan non-Barat dianggap tidak memenuhi standar untuk diakui dalam filsafat dan sains yang dikembangkan oleh Barat. Hegemoni epistemologi ini juga melahirkan orientalisme terhadap Islam. Para orientalis, dengan kerangka rasisme epistemik, merendahkan dan memarginalkan pengetahuan non-Barat. Dalam prosesnya, mereka tidak hanya mengadopsi, tetapi juga menafsirkan ulang pengetahuan non-Barat dengan cara yang menghilangkan keaslian dan mengukuhkan dominasi epistemologi Barat. Subalternisasi ini menjadi alat yang efektif dalam memperkuat pandangan inferiorisasi terhadap Islam dan dunia non-Barat pada umumnya.

Rasisme epistemik mengungkap bagaimana Barat, melalui hegemoni politik-identitas, membangun kebencian terhadap Islam sejak kebangkitan mereka dari era kegelapan di masa Renaisans. Pandangan ini berujung pada konstruksi otherness yang diwujudkan dalam bentuk Islamophobia, di mana Islam dipersepsikan sebagai peradaban yang inferior, barbar, kejam, teroris, penindas perempuan, dan berbagai stereotip negatif lainnya. Ramón Grosfoguel mengaitkan fenomena ini dengan pandangan sosiologis bahwa Islamophobia merupakan ekspresi rasisme epistemik yang diarahkan Barat terhadap Islam dalam konteks akademik.3

Dalam rasisme epistemik, Barat menggunakan dominasi atas pengetahuan untuk melegitimasi nilai-nilai seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan sains sebagai standar universal. Ketika peradaban non-Barat, termasuk Islam, menawarkan perspektif atau pengetahuan yang berbeda, Barat sering kali menolaknya tanpa pertimbangan serius. Akibatnya, ketika politik Islam muncul di panggung global, Barat dengan mudah melabelinya sebagai ancaman, seperti war on terror, dan menyingkirkannya dari diskursus internasional. Untuk menjaga dominasi ini, Barat bahkan menciptakan narasi seperti Islam moderat atau feminis yang dikemas dalam wacana toleransi, tetapi pada dasarnya dirancang untuk menyesuaikan Islam dengan kerangka pemikiran Barat.


Sumber Foto: bbc.co.uk

Penulis: Rifqi Baihaqi Zaki

Editor: Muhammad Dini Syauqi Al Madani

Comments